SYEKH ABDUL KHADIR ALJAELANI

Syekh Abdul Qodir Jailani diminta memberikan buah apel oleh Raja Baghdad disaat sedang tidak musimnya

Dikisahkan, pada suatu hari raja Baghdad datang berkunjung kerumah Syekh Abdul Qodir dengan maksud meminta karomah beliau untuk ketentraman hatinya. 

Syekh berkata: “Kiranya apa saja yang perlu saya bantu ?”. 

Dijawab oleh sang raja, “Saya minta buah apel”. Sedangkan pada waktu itu, buah apel belum musimnya berbuah. Lalu tangan beliau diangkat ke atas, pada waktu diturunkan kembali tangannya menggenggam buah apel, yang sebuah diberikan kepada raja, dan yang sebelah lagi dibelah oleh beliau sendiri.

Pada waktu sang raja membelah dan mengupas apel ternyata di dalamnya penuh dengan ulat-ulat (belatung) yang menjijikan. 

Lalu raja bertanya, “Mengapa buah apel ini penuh dengan belatung ?”, Syekh menjawab “Yah, karena buah itu telah dipegang oleh tangan kotor kedurhakaan”. 

Dibacanya Istigfar oleh Raja setelah kejadian itu, kemudian beliau bertobat dan beliau menjadi mitra Syaikh sampai akhir hayatnya.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur ‘alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Begitulah kisahnya.

cinta allah

Cahaya Basoroh dan Cahaya Sirr

“JANGAN MERAGUKAN JANJI ALLAH”

لاَ يـُشَـكِّكَــنَّكَ فيِ الْـوَعْدِ عَدَمُ وُقُــوْعِ الْـمَـوْعُـوْدِ ، وَ إِنْ تَـعَـيَّنِ زَمَنُهُ ؛ لِئَـلاَّ يـَكُوْنَ ذَ لِكَ قَدْحًـا فيِ بَـصِيْرَ تِـكَ ، وَ إِخْمَـادً ا لِـنُورِ سَرِ يـْرَ تِـكَ

“Janganlah karena tiadanya pemenuhan atas apa-apa yang dijanjikan, padahal telah jatuh waktunya, membuatmu ragu terhadap janji-Nya; agar yang demikian itu tidak menyebabkan bashirah-mu buram dan cahaya sirr-mu padam!”

Syarah

Dalam Al-Quran, ada sebuah hikmah dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Siti Sarah.

Ibrahim a.s. senantiasa berdoa agar dikaruniai keturunan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surah Ash-Shaaffaat [37]: 100: “Rabbii hablii minash-shaalihiin.” Tatkala datang dua malaikat yang memberi kabar gembira akan lahirnya Ishaq a.s., Siti Sarah digambarkan “tersenyum keheranan” (Q.S. Huud [11]: 72-73 ), atau “memekik” (Q.S. Adz Dzaariyaat [51]: 29).

قَالَتْ يَا وَيْلَتَىٰ أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَـٰذَا بَعْلِي شَيْخًا ۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ

قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ‌ اللَّـهِ ۖ رَ‌حْمَتُ اللَّـهِ وَبَرَ‌كَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ

Istrinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh.”

Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul-bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” – Q.S. Huud [11]: 72-73

Demikian halnya Ibrahim a.s. berkata:

قَالَ أَبَشَّرْ‌تُمُونِي عَلَىٰ أَن مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ‌ فَبِمَ تُبَشِّرُ‌ونَ

قَالُوا بَشَّرْ‌نَاكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُن مِّنَ الْقَانِطِينَ

Berkata Ibrahim: “Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?”

Mereka menjawab: “Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.”

Ibrahim berkata: “(Tidak ada) orang yang berputus-asa dari rahmat-Nya, kecuali orang-orang yang sesat.” – Q.S. Al-Hijr [15]: 54-55

Keraguan kita akan janji Allah, sesungguhnya adalah tanda dari kelemahan tauhid, sehingga membuat bashirahmenjadi buram dan cahaya sirr (rahasia-rahasia) menjadi padam.

Keraguan adalah sesuatu yang berbahaya dalam jalan suluk. Dalam kisah Siti Hajar, hal tersebut telah membuat kelahiran Ishaq a.s. tertunda sebagai sebuah hukuman karena bersitan keraguan akan janji Allah.

Mengenai bashirah, seperti telah dibahas dalam pasal-pasal sebelumnya (lihat Al-Hikam Pasal 5), adalah cahaya untuk melihat Al-Haqq pada segenap ufuk alam semesta.

Adapun cahaya sirr merupakan cahaya yang akan menampakan jati diri setiap insan. Rahasia tentang hakikat diri kita, qadha dan qadar, misi hidup, hanya bisa ditampakkan dengan cahaya sirr Allah.

Manusia sebagai hamba tidak mengetahui kapankah Alloh akan menurunkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga manusia jika melihat tanda-tanda ia menduga, mungkin telah tiba saatnya, padahal bagi Alloh belum memenuhi semua syarat yang dikehendaki-Nya, maka bila tidak terjadi apa yang telah diduganya, hendaknya tidak ada keraguan terhadap kebenaran janji Alloh subhanahu wata’ala.

Sebagaimana yang terjadi dalam Sulhul [perdamaian] Hudaibiyah, ketika Rasululloh shallalloahu ‘alaihi wasallam, menceritakan mimpinya kepada sahabatnya, sehingga mereka mengira bahwa pada tahun itu mereka akan dapat masuk ke kota Makkah dan melaksanakan ibadah umroh dengan aman dan sejahtera [mimpi Rasululloh saw. yang tersebut dalam surah al-Fath.

Alloh berfirman: “Sungguh Alloh akan membuktikan kepada Rosul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti memasuki Masjidil Haram, jika Alloh menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu merasa takut. Maka Alloh mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat.” [QS. al-Fath 27].

Sehingga ketika gagal tujuan umroh karena di tolak oleh bangsa Quraisy dan terjadi penanda tanganan perjanjian Sulhul [perdamaian] Hudaibiyah, yang oleh Umar dan sahabat-sahabat lainnya dianggap sangat mengecewakan, maka ketika Umar ra. mengajukan beberapa pertanyaan, dijawab oleh Nabi saw: Aku hamba Alloh dan utusan-Nya dan Alloh tidak akan mengabaikan aku.

Firman Alloh: “(Dalam menghadapi ujian dari Alloh) Sehingga Rosul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, Kapankah datang pertolongan Alloh? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Alloh itu dekat.” [QS. al-Baqoroh 214].

allah

RIDHO DENGAN PILIHAN ALLAH

Do’a dan ijabah

لاَ يَــكُنْ تَــأَخُّرُ أَ مَدِ الْعَطَاءِ مَعَ اْلإِلْـحَـاحِ فيِ الدُّعَاءِ مُوْجِـبَاً لِـيَأْسِكَ؛ فَـهُـوَ ضَمِنَ لَـكَ اْلإِجَـابَـةَ فِيمَا يَـخْتَارُهُ لَـكَ لاَ فِيمَا تَـختَارُ لِـنَفْسِكَ؛ وَفيِ الْـوَقْتِ الَّـذِيْ يُرِ يـْدُ لاَ فيِ الْـوَقْتِ الَّذِي تُرِ يدُ

“Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan doa) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki.”

Syarah

Doa adalah sebuah bentuk ibadah. Dan dalam Al-Quran, Allah memerintahkan kepada kita untuk berdoa kepada-Nya—dan Dia Ta’ala pasti kabulkan.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” – Q.S. Al-Mu’min [40]: 60

Tanda seorang mukmin sejati adalah: lebih yakin dengan apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang dapat diusahakan oleh tangannya sendiri.

Ketika doa yang kita panjatkan seolah tidak mendapat pengabulan dari Allah Ta’ala, disitu terdapat ruang pengetahuan yang kosong yang harus kita cari dan isi.

Doa disini bukan hanya terkait masalah duniawi; tetapi juga termasuk dalam hal spiritual.

Misalkan, kita berdoa agar diterima taubatnya dan dibersihkan dari segala dosa.

Hakikatnya setiap doa yang kita panjatakan adalah sebuah refleksi dari objek yang telah Allah siapkan.

Tidak serta merta kita menginginkan sesuatu di dalam hati, kecuali telah ada objeknya.

Tanpa objek yang telah Allah sediakan, pada dasarnya setiap orang tidak akan punya keinginan untuk berdoa.

Seperti ketika menginginkan sebuah makanan, karena baunya sudah tercium dari jauh.

Hanya saja manusia kerap terjebak oleh ketidak-sabaran dan waham (kesalahan pemikiran) tentang dirinya sendiri.

Seperti ketika seorang sahabat meminta kepada Rasulullah SAW agar berjodoh dengan seorang perempuan; maka jawaban Rasulullah SAW adalah :

Sekalipun dirinya dan seluruh malaikan memanjatkan doa maka bila itu bukan haknya dan tidak tertulis di Lauh Mahfudz pasti tidak akan terlaksana.

Keinginannya untuk memiliki jodoh adalah sebuah isyarat akan objek yang telah Allah sediakan, tetapi keinginannya akan perempuan tertentu adalah karena syahwat dan wahamnya yang masih belum surut.

Doa membutuhkan pengenalan (ma’rifah) akan Allah dan akan diri sendiri. Allah yang lebih tahu apa yang terbaik bagi makhluknya, lebih dari seorang ibu mengetahui kebutuhan bayinya.

Alloh telah berjanji akan mengabulkan do’a. sesuai dengan firman-Nya,“Mintalah kamu semua kepada-Ku, Aku akan mengijabah do’amu semua”. dan Alloh berfirman, “Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendaki-Nya dan memilihnya sendiri, tidak ada hak bagi mereka untuk memilih.”

Sebaiknya seorang hamba yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi mengakui kebodohan dirinya, sehingga tidak memilih sesuatu yang tampak baginya sepintas baik, padahal ia tidak mengetahui bagaimana akibatnya.

Karena itu bila Tuhan yang maha mengetahui, maha bijaksana memilihkan untuknya sesuatu, hendaknya rela dan menerima pilihan Tuhan yang Maha pengasih, Maha mengetahui dan Maha bijaksana.

Walaupun pada lahirnya pahit dan menyakitkan rasanya, namun itulah yang terbaik baginya, karena itu bila berdoa, kemudian belum juga terkabulkan keinginannya, janganlah terburu-buru putus asa.

Firman Allah: “Dan mungkin jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan mungkin jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. al-Baqarah 216].

Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily radhiallahu ‘anhu ketika mengartikan ayat ini:”Sungguh telah diterima do’amu berdua [Musa dan Harun alaihissalam] yaitu tentang kebinasaan Fir’aun dan tentaranya, maka hendaklah kamu berdua tetap istiqamah [sabar dalam melanjutkan perjuangan dan terus berdo’a], dan jangan mengikuti jejak orang-orang yang tidak mengerti [kekuasaan dan kebijaksanaan Allah].” [QS. Yunus 89].

<

p style=”text-align: left;”>Maka terlaksananya kebinasaan Fir’aun yang berarti setelah diterima do’a Nabi Musa dan Harun alaihissalam selama/sesudah 40 tahun lamanya.
Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pasti akan dikabulkan do’amu selama tidak terburu-buru serta mengatakan, aku telah berdo’a dan tidak diterima.”

Anas rodhiallohu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada orang berdoa, melainkan pasti diterima oleh Allah doanya, atau dihindarkan dari padanya bahaya, atau diampuni sebagian dosanya, selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa atau untuk memutus silaturrahim.

Syeih Abu Abbas al-Mursi ketika ia sakit, datang seseorang membesuknya dan berkata :

Semoga Alloh menyembuhkanmu [Afakallohu]. Abu Abbas terdiam dan tidak menjawab.

Kemudian orang itu berkata lagi: Alloh yu’aafika. Maka Abu Abbas menjawab: Apakah kamu mengira aku tidak memohon kesehatan kepada Alloh? Sungguh aku telah memohon kesehatan dan penderitaanku ini termasuk kesehatan, ketahuilah Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam memohon kesehatan dan ia berkata: “Selalu bekas makanan khaibar itu terasa olehku, dan kini masa putusnya urat jantungku.”

Abu Bakar as-Siddiq memohon kesehatan dan meninggal terkena racun. Umar bin Khottob memohon kesehatan dan meninggal dalam keadaan terbunuh.

Usman bin Affan memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh.

Ali bin Abi Tholib memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh.

Maka bila engkau memohon kesehatan kepada Alloh, mohonlah menurut apa yang telah ditentukan oleh Alloh untukmu, maka sebaik-baik seorang hamba ialah yang menyerahkan segala sesuatunya menurut kehendak Tuhannya, dan meyakini bahwa apa yang diberikan Tuhan kepadanya, itulah yang terbaik walaupun tidak sejalan dengan nafsu syahwatnya.

Dan syarat utama untuk diterimanya doa ialah keadaan terpaksa/kesulitan. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Bukankah Dia [Alloh] yang memperkenankan [do’a] orang yang dalam kesulitan apabila dia berdo’a kepada-Nya…” [QS. an-Naml 62].

Keadaan terpaksa atau kesulitan itu, apabila merasa tidak ada sesuatu yang di harapkan selain semata-mata karunia Allah subhanahu wata’ala, tidak ada yang dapat membantu lagi baik dari luar berupa orang dan benda atau dari dalam diri sendiri.

SYEKH ABDUL KHADIR ALJAELANI

Ahlak dan Budi Pekerti Syaikh Abdul Qodir Jaelani

Pribadi Syekh Abdul Qodir Jaelani sangat taqwa disebabkan sangat takutnya kepada Alloh, hatinya luluh, air matanya bercucuran.

Do’a permohonannya diterima Alloh. Beliau seorang dermawan berjiwa sosial, jauh dari perilaku buruk dan selalu dekat dengan kebaikan. Berani dan kokoh dalam mempertahankan haq, selalu gigih dan tegar dalam menghadapi kemungkaran.

Beliau pantang sekali menolak orang yang meminta-minta, walau yang diminta pakaian yang sedang beliau pakai. Sifat dan watak beliau tidak marah karena hawa nafsu, tidak memberi pertolongan kalau bukan karena Alloh.


Beliau diwarisi akhlaq Nabi Muhammad SAW., ketampanan wajahnya setampan Nabi Yusuf a.s. Benarnya (shiddiqnya) dalam segala hal sama dengan benarnya Sayidina Abu Bakar r.a. Adilnya, sama dengan keadilan Sayidina Umar bin Khottob r.a. Hilimnya dan kesabarannya adalah hilimya Sayidina Utsman bin Affan r.a.

Kegagahan dan keberaniannya, berwatak keberanian Sayidina Ali bin Abi Tholib Karromallohu wajhah.

***

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur ‘alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.Demikian kami tulis

SYEKH ABDUL KHADIR ALJAELANI

Syekh Abdul Qodir Al Jaelani Menyelamatkan Muridnya Dari Api Dunia Dan Akhirat

Syekh Miyan Udhmatulloh dari golongan Imam Ulama Arifin berkata: “Di negeriku Burhaniyun, saya bertetangga dengan seorang kaya. Ia beragama Hindu penyembah api (agni), namun ia sangat rindu cinta kepada Syekh Abdul Qodir.

Setiap tahun diundang para pejabat pemerintah, para ulama, dan tidak terkecuali para fakir miskin untuk berpesta bersuka ria, makan bersama di rumahnya. Untuk lebih semarak lagi, rumahnya dihiasi dengan dekorasi yang beraneka ragam wama keindahannya, ditaburi dengan bunga-bunga yang harum semerbak serta minyak yang harum mewangi. Tujuan diadakan pesta itu semata-mata terdorong rasa cinta mahabah kepada Syekh, malah ia merasa bangga mengaku menjadi muridnya.

Rupanya ajal telah tiba baginya, dan setiap jiwa harus merasakan mati. Pada waktu mati, keluarganya merawat mayat itu sesuai dengan keyakinannya, yaitu tata cara agama Hindu, si mayat harus dibakar. Timbul keanehan, di luar kebiasaan sosok mayat itu tidak hangus terbakar menjadi abu, bahkan sehelai rambutpun tidak lenyap dimakan api. Akhirnya keluarganya sepakat bahwa mayat itu lebih baik dihanyutkan ke sungai.

Menghadapi kejadian ini, di negeri tersebut berdiam seorang wali. Pada malam harinya ia bermimpi dikunjungi Syekh. Beliau berpesan: “Mayat orang Hindu yang te·rapung-apung dihanyutkan air itu ialah muridku, dan ia telah diberi nama Sa‘dulIah, supaya ia segera diangkat dari sungai dan dikubur sebagaimana mestinya menurut kewajiban dan ketentuan agama Islam, karena ia seorang muslim.

Mengapa sosok mayat itu tidak lenyap dimakan api sehingga api tidak mempan untuk membakarnya? Hal ini tiada lain karena Alloh telah berjanji padaku bahwa Alloh tidak akan membakar murid-muridku baik dari api dunia maupun api neraka.

sholat-shubuh-jpg

Doa dan Ijabah

“RIDHO DENGAN PILIHAN ALLAH”

لاَ يَــكُنْ تَــأَخُّرُ أَ مَدِ الْعَطَاءِ مَعَ اْلإِلْـحَـاحِ فيِ الدُّعَاءِ مُوْجِـبَاً لِـيَأْسِكَ؛ فَـهُـوَ ضَمِنَ لَـكَ اْلإِجَـابَـةَ فِيمَا يَـخْتَارُهُ لَـكَ لاَ فِيمَا تَـختَارُ لِـنَفْسِكَ؛ وَفيِ الْـوَقْتِ الَّـذِيْ يُرِ يـْدُ لاَ فيِ الْـوَقْتِ الَّذِي تُرِ يدُ

“Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan doa) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki.”

Syarah

Doa adalah sebuah bentuk ibadah. Dan dalam Al-Quran, Allah memerintahkan kepada kita untuk berdoa kepada-Nya—dan Dia Ta’ala pasti kabulkan.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” – Q.S. Al-Mu’min [40]: 60

Tanda seorang mukmin sejati adalah lebih yakin dengan apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang dapat diusahakan oleh tangannya sendiri. Ketika doa yang kita panjatkan seolah tidak mendapat pengabulan dari Allah Ta’ala, disitu terdapat ruang pengetahuan yang kosong yang harus kita cari dan isi. Doa disini bukan hanya terkait masalah duniawi tetapi juga termasuk dalam hal spiritual. Misalkan, kita berdoa agar diterima taubatnya dan dibersihkan dari segala dosa.

Hakikatnya setiap doa yang kita panjatakan adalah sebuah refleksi dari objek yang telah Allah siapkan. Tidak serta merta kita menginginkan sesuatu di dalam hati, kecuali telah ada objeknya. Tanpa objek yang telah Allah sediakan, pada dasarnya setiap orang tidak akan punya keinginan untuk berdoa. Seperti ketika menginginkan sebuah makanan, karena baunya sudah tercium dari jauh.

Hanya saja manusia kerap terjebak oleh ketidak-sabaran dan waham (kesalahan pemikiran) tentang dirinya sendiri. Seperti ketika seorang sahabat meminta kepada Rasulullah SAW agar berjodoh dengan seorang perempuan; maka jawaban Rasulullah SAW adalah: sekalipun dirinya dan seluruh malaikan memanjatkan doa maka bila itu bukan haknya dan tidak tertulis di Lauh Mahfudz pasti tidak akan terlaksana. Keinginannya untuk memiliki jodoh adalah sebuah isyarat akan objek yang telah Allah sediakan, tetapi keinginannya akan perempuan tertentu adalah karena syahwat dan wahamnya yang masih belum surut.

Doa membutuhkan pengenalan (ma’rifah) akan Allah dan akan diri sendiri. Allah yang lebih tahu apa yang terbaik bagi makhluknya, lebih dari seorang ibu mengetahui kebutuhan bayinya.

Alloh telah berjanji akan mengabulkan do’a. sesuai dengan firman-Nya,“Mintalah kamu semua kepada-Ku, Aku akan mengijabah do’amu semua”. dan Alloh berfirman, “Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendaki-Nya dan memilihnya sendiri, tidak ada hak bagi mereka untuk memilih.”

Sebaiknya seorang hamba yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi mengakui kebodohan dirinya, sehingga tidak memilih sesuatu yang tampak baginya sepintas baik, padahal ia tidak mengetahui bagaimana akibatnya. Karena itu bila Tuhan yang maha mengetahui, maha bijaksana memilihkan untuknya sesuatu, hendaknya rela dan menerima pilihan Tuhan yang Maha pengasih, Maha mengetahui dan Maha bijaksana. Walaupun pada lahirnya pahit dan menyakitkan rasanya, namun itulah yang terbaik baginya, karena itu bila berdoa, kemudian belum juga terkabulkan keinginannya, janganlah terburu-buru putus asa.

Firman Allah: “Dan mungkin jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan mungkin jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. al-Baqarah 216].

Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily radhiallahu ‘anhu ketika mengartikan ayat ini:”Sungguh telah diterima do’amu berdua [Musa dan Harun alaihissalam] yaitu tentang kebinasaan Fir’aun dan tentaranya, maka hendaklah kamu berdua tetap istiqamah [sabar dalam melanjutkan perjuangan dan terus berdo’a], dan jangan mengikuti jejak orang-orang yang tidak mengerti [kekuasaan dan kebijaksanaan Allah].” [QS. Yunus 89].

Maka terlaksananya kebinasaan Fir’aun yang berarti setelah diterima do’a Nabi Musa dan Harun alaihissalam selama/sesudah 40 tahun lamanya.
Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pasti akan dikabulkan do’amu selama tidak terburu-buru serta mengatakan, aku telah berdo’a dan tidak diterima.”

Anas rodhiallohu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada orang berdoa, melainkan pasti diterima oleh Allah doanya, atau dihindarkan dari padanya bahaya, atau diampuni sebagian dosanya, selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa atau untuk memutus silaturrahim.

Syeih Abu Abbas al-Mursi ketika ia sakit, datang seseorang membesuknya dan berkata: Semoga Alloh menyembuhkanmu [Afakallohu]. Abu Abbas terdiam dan tidak menjawab. Kemudian orang itu berkata lagi: Alloh yu’aafika. Maka Abu Abbas menjawab: Apakah kamu mengira aku tidak memohon kesehatan kepada Alloh? Sungguh aku telah memohon kesehatan dan penderitaanku ini termasuk kesehatan, ketahuilah Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam memohon kesehatan dan ia berkata: “Selalu bekas makanan khaibar itu terasa olehku, dan kini masa putusnya urat jantungku.”

Abu Bakar as-Siddiq memohon kesehatan dan meninggal terkena racun. Umar bin Khottob memohon kesehatan dan meninggal dalam keadaan terbunuh. Usman bin Affan memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Ali bin Abi Tholib memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Maka bila engkau memohon kesehatan kepada Alloh, mohonlah menurut apa yang telah ditentukan oleh Alloh untukmu, maka sebaik-baik seorang hamba ialah yang menyerahkan segala sesuatunya menurut kehendak Tuhannya, dan meyakini bahwa apa yang diberikan Tuhan kepadanya, itulah yang terbaik walaupun tidak sejalan dengan nafsu syahwatnya. Dan syarat utama untuk diterimanya doa ialah keadaan terpaksa/kesulitan. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Bukankah Dia [Alloh] yang memperkenankan [do’a] orang yang dalam kesulitan apabila dia berdo’a kepada-Nya…” [QS. an-Naml 62].

Keadaan terpaksa atau kesulitan itu, apabila merasa tidak ada sesuatu yang di harapkan selain semata-mata karunia Allah subhanahu wata’ala, tidak ada yang dapat membantu lagi baik dari luar berupa orang dan benda atau dari dalam diri sendiri.

sujud

Amal Berserah Diri dan Marifat

“KETIKA ALLAH MEMBUKA PINTU PERKENALAN”

إِذَا فَتَحَ لَـكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ تُبــَالِ مَعَهَا أِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّـهُ مَا فَـتَـحَهَا لَكَ إِلاَّ وَهُوَ يُرِ يْدُ أَنْ يَـتَـعَرَّفَ إِلَيكَ. أَلَمْ تَـعْلَمْ أَنَّ الـتَّــعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ، وَاْلأَعْمَالُ أَنْتَ مُــهْدِ يْــهَا إِلَـيْهِ، وَأَيــْنَ مَا تُــهْدِ يْهِ إِلَـيْهِ مِمَّا هُـوَ مُوْرِدُهُ عَلَـيْكَ

“Ketika Dia membukakan bagimu (suatu) Wajah Pengenalan, maka jangan engkau sandingkan (hadirnya) pengenalan itu dengan sedikitnya amal-amalmu; karena sesungguhnya Dia tidak membukakan pengenalan itu bagimu kecuali (bahwa) Dia semata-mata menginginkan untuk memperkenalkan (Diri-Nya) kepadamu.

<

p style=”text-align: justify;”>
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya (suatu) pengenalan itu (semata-mata) Dia yang menginginkannya atasmu, sedangkan amal-amal itu (semata-mata) suatu hadiah dari engkau kepada-Nya; maka tidaklah sebanding antara apa-apa yang engkau hadiahkan kepada-Nya dengan apa-apa yang Dia inginkan untukmu.”

Ada rahasia yang sangat halus dibalik kalimat-kalimat Ibnu Athaillah dalam pasal ini. Ibnu Athaillah bukan hendak mengatakan bahwa amaliah tidak berarti, karena itu adalah tanda kepatuhan kepada-Nya. Namun ada persoalan yang lebih besar dari itu yang harus dimiliki setiap pejalan suluk.

Ketika Allah membuka “Wajah Pengenalan”, maka yang Dia anugrahkan kepada seorang hamba adalah Diri-Nya, Eksistensi-Nya, bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau surga-Nya. Maka tidaklah sebanding ketika Allah menyerahkan seluruh Diri-Nya untuk dikenali, sementara seseorang hanya menyerahkan amal perbuatannya, bukan dirinya.

Adalah Nabi Muhammad SAW memberi nasihat kepada putrinya Fatimah r.a. untuk senantiasa berdoa pada setiap pagi dan petang:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ! أَصْلِحْ لِي شَأْنِيَ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ

Wahai (Dzat) yang Maha Hidup dan Maha Berdiri! Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah urusanku seluruhnya; dan jangan Engkau serahkan aku kepada diriku walau hanya sekejap mata. – H.R. Imam An-Nasai, Imam Al-Hakim.

Dalam hadits yang lain dikatakan:

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ

Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan! Maka janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku meski sekejap mata, dan perbaikilah urusanku seluruhnya. (Sungguh) tidak ada tuhan selain Engkau. – H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban.

<

p style=”text-align: justify;”>Bahwa kebanyakan manusia mengandalkan urusannya kepada dirinya, kepintarannya, amal perbuatannya. Dan sangatlah sedikit manusia yang menginginkan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sementara dalam Al-Quran dikatakan bahwa sebaik-baik agama seseorang adalah yang: aslama wajhahu (menyerahkan wajahnya), seluruh eksistensinya, seluruh jiwa-raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Allah.
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang diapun seorang yang ihsan dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus?– Q.S. An-Nisa [4]: 125

Ma’rifat [mengenal] kepada Allah, itu adalah puncak keberuntungan seorang hamba, maka apabila Tuhan telah membukakan bagimu suatu jalan untuk mengenal kepada-Nya, maka tidak perlu pedulikan berapa banyak amal perbuatanmu, walaupun masih sedikit amal kebaikanmu. Sebab ma’rifat itu suatu karunia dan pemberian langsung dari Allah, maka sekali-kali tidak tergantung kepada banyak atau sedikitnya amal kebaikan.

Abu Huroiroh ra. berkata: Rasululloh saw. bersabda: Alloh azza wajalla berfirman: “Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman, kemudian ia tidak mengeluh kepada orang lain, maka Aku lepaskan ia dari ikatan-Ku dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari semula, dan ia boleh memperbarui amal, sebab yang lalu telah diampuni semua.”

Diriwayatkan: Bahwa Alloh telah menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi diantara beberapa Nabi-Nya.” Aku telah menurunkan ujian kepada salah seorang hamba-Ku, maka ia berdoa dan tetap Aku tunda permintaannya, akhirnya ia mengeluh, maka Aku berkata kepadanya: Hamba-Ku bagaimana Aku akan melepaskan dari padamu rahmat yang justru ujian itu mengandung rahmat-Ku.”

Karena dengan segala kelakuan kebaikanmu engkau tidak dapat sampai ke tingkat yang akan Aku berikan kepadamu, maka dengan ujian itulah engkau dapat mencapai tingkat dan kedudukan di sisi Alloh.

SYEKH ABDUL KHADIR ALJAELANI

Setiap malam, waktu beliau digunakan untuk sholat dan dzikir

Syekh Abu Abdillah Muhammad al-Hirowi meriwayatkan bahwa :”Saya berkhidmat menjadi mitra dan mendampingi Syekh Abdul Qodir selama empat puluh tahun lamanya. Selama itu saya (Syekh Abu Abdillah) menyaksikan beliau bila sholat Shubuh hanya dicukupkan dengan wudhu ‘Isya, artinya beliau tidak bathal wudhu.

Seusai sholat lalu Syekh masuk kamar menyendiri sampai waktu sholat Shubuh. Para pejabat pemerintah banyak yang datang untuk bersilaturrahmi, tapi kalau datangnya malam hari tidak bisa bertemu dengan beliau terpaksa mereka harus menunggu sampai waktu Shubuh.

Pada suatu malam saya mendampingi beliau, sekejap matapun saya tidak tidur, saya menyaksikan sejak sore hari beliau melaksanakan sholat dan pada malam harinya dilanjutkan dengan zikir, lewat sepertiga malam lalu beliau membaca : 

ALMUHIITHUR ROBBUSY SYAHIIDUL HASIIBUL FA’AALUL KHOLLAAQUL KHOOLIQUL BAARI`UL MUSHOWWIR.

Tampak badannya bertambah kecil sampai mengecil lagi, lalu badannya berubah menjadi besar dan bertambah besar, lalu naik tinggi ke atas meninggi bertambah tinggi lagi, sampai tidak tampak dari pemandangan. Sejurus kemudian beliau muncul lagi berdiri melakukan sholat dan pada waktu sujud sangat lama sekali. 

Demikianlah beliau mendirikan sholat semalam suntuk, dari dua pertiga malam harinya, lalu beliau menghadap qiblat sambil membaca do’a.

Tiba-tiba terpancarlah sinar cahaya menyoroti arah beliau dan badannya diliputi sinar cahaya dan tidak henti-hentinya terdengar suara yang mengucapkan salam sampai terbit fajar.

***

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur ‘alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaa

SYEKH ABDUL KHADIR ALJAELANI

SYEKH ABDUL QODIR JAILANI DIGODA SYETAN

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari syetan menghadap Syekh Abdul Qodir, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa buroq dari Alloh dan mengundangnya untuk menghadap Alloh di langit tertinggi. Syekh segera menjawab bahwa si pembicara tiada lain syetan si iblis, karena baik buroq maupun Jibril tiada akan turun ke dunia selain turun kepada Nabi Muhammad SAW. 

Syetan masih punya cara lain, katanya : “Baik Abdul Qodir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu”.

“Enyahlah !”, bentak Syekh, “Jangan kau goda aku, dan bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Alloh, aku selamat dari perangkapmu”.

Ketika Syekh sedang di rimba belantara, tanpa makan dan minum untuk waktu yang lama, awan menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Syekh meredakan dahaganya dengan curahan hujan itu. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: “Akulah Tuhanmu, kini kuhalalkan bagimu segala yang haram”. 

Syekh berkata: “Aku berlindung kepada Alloh dari godaan syetan yang terkutuk”. 

Sosok itupun berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: “Dengan ilmumu dan rahmat Alloh, engkau selamat dari tipuanku, padahal aku telah menggoda dan menyesatkan tujuh puluh orang yang sedang menuntut ilmu Ketauhidan”. 

Lalu muridnya bertanya tentang kesigapan Syekh dalam mengenal bahwa ia syetan. Jawaban beliau dengan pernyataan yang menghalalkan segala yang haram yang membuatnya tahu, sebab peryataan semacam itu tentu bukan dari Alloh.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur ‘alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Demikian kisahnya