syaik nawawi

Siapakah Syaikh Nawawi Bantani?

Beliau adalah ulama besar abad ke-19 yang tinggal di Makkah, namun beliau asli Indonesia. Kata Al-Bantani merujuk kepada daerah asalnya, yaitu Banten. Tepatnya Kampung Tanara, Serang, Banten.

Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten. Beliau lahir tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi dan wafat di Makkah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi. Beliau menuntut ilmu ke Makkah sejak usia 15 tahun dan selanjutnya setelah menerima pelbagai ilmu di Mekah, beliau meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir.

Syaikh Nawawi al-Bantani kemudian mengajar di Masjidil Haram. Setiap kali beliau mengajar, dikelilingi oleh tidak kurang dua ratus orang. Ini menunjukkan bahwa keulamaan beliau diakui oleh para ulama di Makkah pada masa itu. Yang menarik, disebutkan bahwa saat mengajar di Masjid Al-Haram itu, beliau menggunakan dengan bahasa Jawa dan Sunda.

Karena sangat terkenalnya, bahkan beliau pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara tertentu.

Syaikh Nawawi termasuk ulama penulis yang produktif. Hari-harinya digunakan untuk menulis. Beberapa sumber menyebutkan Syaikh Nawawi menulis lebih dari 100 buku, 34 di antaranya masuk dalam Dictionary of Arabic Printed Books.

Dari sekian banyak bukunya, beberapa di antaranya antara lain: Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Zhulam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Shamad, al-Aqdhu Tsamin, Uqudul Lijain, Nihayatuz Zain, Mirqatus Su’udit Tashdiq, Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith, Nashaihul Ibad.

<

p style=”text-align: justify;”>Murid-Murid Syaikh Nawawi
Di antara yang pernah menjadi murid beliau adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) almarhum Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Juga Kyai Khalil Bangkalan Madura. Juga termasuk Kyai Machfudh dari Tremas, Jawa Timur.

Dari para kiyai itulah kemudian agama Islam disebarkan di seantero tanah Jawa, lewat berbagai pondok pesantren, madrasah, majelis ta’lim, pengajian dan tabligh akbar.

Mengatakan perayaan maulid sebagai perkara yang menyesatkan sama saja dengan menyebut Syaikh Nawawi Al-Bantani sebagai ulama penyesat. Padahal, kalaupun tak ada hadits mengenai ini, seperti dikatakan di atas bahwa tidaklah seseorang mendatangi perayaan maulid Nabi kecuali karena cinta kepada Nabi Saw. Sedangkan Nabi Saw bersabda, “Orang yang cinta padaku maka dia akan bersamaku di surga.” Dan hadits yang satu ini tak perlu kami sebutkan sanad dan rawinya. Juga telah dikenal luas bahwa nabi telah bersabda “Seseorang itu bersama yang dicintainya.”

ivan

Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa

Jika bertanya siapa yang pertama kali mengenalkan tasawuf di tanah Eropa? Ivan Agueli-lah jawabannya. Cendekiawan Muslim asal Swedia ini dikenal amat ahli dalam metafisika sufi dan mengenalkannya ke benua biru.

Ia dikenal dengan nama ‘Abd al-Hadi Aqhili. Agueli lahir pada 24 Mei 1869 di Sala, Västmanland, Swedia. Nama kecilnya John Gustaf Agelii, putra dari seorang dokter hewan Johan Gabriel Agelii.

Sejak muda, Agueli menunjukkan bakat seni yang luar biasa dan minat dalam sufistik agama. Pada 1879, ia belajar ke Gotland dan Stockholm.

Nama Ivan Agueli baru disematkannya pada 1889 ketika belajar melukis aliran simbolis dari pelukis Émile Bernard di Paris.

Bukan Agueli kalau tak menjadi musafir. Ia pun pindah lagi ke Stockholm pada 1890 kemudian kembali ke Paris pada 1892.

Jalan menuju Islam dimulai pada 1895 ketika ia pergi ke Mesir. Di sanalah ia memeluk Islam dan amat tertarik dengan agama ini.

Di negeri piramida pula, Agueli lahir menjadi sosok baru, cendekiawan Muslim. Pada 1902, ia menjadi mahasiswa Universitas al-Azhar di Kairo. Di sana Agueli belajar filsafat Arab dan Islam.

Ia juga mempelajari tarikat sufi pada seorang ulama mesir bernama ‘Abd al-Rahman al-Kabir Ilaysh. Agueli sempat menjadi penulis sebuah majalah Italia yang terbit di Kairo bernama an-Nadi.

Sebagai sufi, Agueli terkenal sebagai inisiator René Guénon dalam tasawuf dan expositor Barat awal tentang metafisika yang dibawa Ibn Arabi. Ia memang sangat mengagumi Ibn Arabi.

Sebagai pelukis sekaligus penulis, cendekiawan Muslim ini dikenal eksentrik. Banyak karya lukisan Agueli yang terkenal. Ilmu tasawuf yang ia kuasai rupanya ditumpahkan dalam kanvas.

Reputasi Agueli sebagai pelukis sangat ternama di Swedia. Ia dikenal sangat kreatif dan gemar melakukan perjalanan.

Dalam tulis-menulis, Agueli berkontribusi dalam buku World Wisdom serta menulis artikel Universality in Islam dalam kumpulan karya Universal Dimensions of Islam.

Dalam artikel tersebut, Agueli menggambarkan sifat universalisme Islam yang selalu mengajarkan kebijaksanaan.


(Baca juga : TQN Center Gelar Khalwat 40 Hari , Berbuat Kebaikan Dengan Menjadi Kontributor)


Hingga kini, Agueli sering kali menjadi objek penelitian tentang perbandingan agama. Bahkan, pada Februari 2011, artikelnya Universality in Islam dikaji dalam studi perbandingan agama yang kemudian diterbitkan kembali dalam bahasa Inggris dalam edisi Dimensi Universal Islam yang ditulis oleh Farid Nuruddin.

Dalam aliran sufi, Agueli dianggap mengarah pada tradisi Malamatiyyah. Tradisi tersebut mengajarkan seseorang untuk merasa hina agar dapat meredam amarah.

Dalam praktiknya, Malamatiyah banyak yang terjerumus negatif hingga terlalu ekstrem. Namun, Agueli menerapkannya dengan taraf biasa yang lumrah.

Dia juga memiliki minat pada ajaran esoteris. Yakni, hanya dimengerti beberapa orang tertentu. Esoteris mengacu pada batin, hakikat, dan substansi.

Dalam ajaran sufi, Islam Esoteris bermakna ajaran agama yang menekankan aspek batin sebagai inti beragama. Aspek batin bertujuan pencapaian hidup selamat dan sejahtera dengan mendekatkan diri kepada Allah.

Ajaran esotris ini tidak mempermasalahkan simbol agama lain dan tidak memperdebatkan syariat sebagai tujuan. Namun, tidak pula menganggap enteng syariat.

abah-anom-copy-700x336

KH. Shohibulwafa Tajul Arifin, Abah Anom Pesantren Suryalaya

KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928.

Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghahkepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.

Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu, pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh.

Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.

Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Sepulang dari Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama.

Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokohThariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.

Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain.

Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.

Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961 didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah.

Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah.

Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.

a

Kisah Karomah Abah Anom, Gelas Berisi Ikan

KH A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1 Januari 1915. Ia adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Juhriyah.

Ketika berusia 23 tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, ia berziarah ke Tanah Suci. Selama Ramadhan, Abah rajin mengikuti pengajian bandungan di Masjidil Haram yang disampaikan guru-guru dari Mekkah atau Mesir.

Ketika di Mekkah, Abah Anom terbiasa tidur di atas pasir di Masjidil Haram (pada masa itu sebagian lantai masjidil Haram masih berupa pasir) dan setiap pagi ia bangun. Ia rajin mengunjungi ribat naqsabandi di jabal Gubaisy untuk muzakarah kitab Sirrul Asror dan Ganiyyat Al-Talibin karya Sayyidi Syeikh Abdul Qodir Aj-Jaelani.

Abah pulang dari Mekkah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939). Ia telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan.

Pengetahuannya meliputi tafsir, hadits, fikih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Abah Anom dikenal sebagai tokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Ketika Abah Sepuh wafat, pada tahun 1956, Abah Anom memimpin Pesantren Suryalaya.

Banyak tersebar kisah karomah Abah Anom seperti yang dituliskan di buku-buku latar belakang dan perkembangan Pesantren Suryalaya. Ada sebuah kisah tentang Abah Anom menghadapi seorang kapten yang akan menjajal ilmu Abah Anom. Seorang kapten dan anak buahnya mendatangi Pesantren Suryalaya.

Ia membawa sebuah batu kali dari kantongnya sebesar tinju. Batu itu diletakkan di sebelah telapak tangan kirinya, kemudian tangan kanannya satu kali pukul saja batu tersebut telah terbelah dua. Dia berikan kedua belahan batu itu kepada Abah dengan sikap sombong.

Abah Anom mengambil batu itu dan meremas batu itu, kemudian jadilah batu itu hancur laksana tepung. Si kapten terbelalak matanya tetapi ia belum putus asa dan masih penasaran.

Tiba-tiba Abah Anom meminta segelas air kepada tukang masak di dapur, yang segera datang di hadapan Abah Anom. Gelas berisi air itu diberikan kepada si kapten yang dilihatnya ada ikan dalam gelas.

Kapten itu segera bergaya seperti orang yang memancing dan ikan itu seolah terkait di alat pancing. Dia tunjukkan dengan sombong ikan itu terpancing dari gelas itu kepada Abah Anom.

Tetapi, tiba-tiba di lantai, di hadapan si kapten menggeletar seekor ikan besar yang kemudian dengan isyarat jari telunjuk saja oleh Abah Anom, ikan itu seperti terkait dengan pancingan telunjuk Abah Anom.

Belum sempat sang kapten menunjukkan ketakjubannya lagi, Abah Anom seolah memegang ketapel, dia mengarahkan ketapel itu ke atas atap rumah dan sesudah ditariknya tiba-tiba jatuhlah seekor burung yang rupanya kena tembakan ketapel.

Sang kapten bersujud di depan Abah Anom, diletakkannya lututnya kepada lutut Anom Anom, mengaku kalah dan meminta maaf, serta minta ditalqinkan untuk menganut dan mengamalkan Pesantren Suryalaya.