Di sini, kita sebenarnya masih dicengkram nafsu. Kita masih punya keinginan membalas dendam kepada orang zalim itu, bila perlu dengan yang lebih buruk. Kita menahan diri, tapi meminta Allah membalaskan dendam kita sesuai dengan yang kita kehendaki. Sifat nafsu memang selalu melawan segala hal yang mengganggu kenyamanannya.
Kedua, adalah ketika kita dizalimi kita bersabar dan yakin bahwa Allah Maha Tahu apa yang menimpa kita dan tahu rahasia di balik itu. Untuk itu, kita serahkan perkara itu kepada Allah. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa berserah diri kepada Allah, Dia akan memperhatikannya.” (QS At-Thalaq: 3).
Pada level ini, kita sudah jauh lebih baik dari level pertama. Namun rasa kesal masih tersisa, meski kita sudah mampu meredamnya. Tentang balasan apa yang pantas untuk orang zalim itu, kita serahkan kepada Allah.
Ketiga, adalah ketika kita dizalimi kita tak sedikit pun merasa tersinggung, kesal, marah apalagi ingin membalas. Semua perkara, baik dan buruk, kita serahkan kepada Allah. Perlakuan kasar/zalim orang lain terjadi atas kehendak Allah yang harus dijalani dengan tulus-ikhlas. Pada level ini, qalbu dan akal telah terlepas dari jeratan nafsu.
Keempat, adalah ketika kita didzolimi kita berbalik membalasnya dengan kasih-sayang. Ego dan amarah telah lenyap. Nafsu telah tunduk pada qalbu dan akal yang telah bersih dan tersinari cahaya ilahiah. Inilah level para kekasih Allah (waliyullah). Syaikh Ibn ‘Ataillah menyebutnya dengan level ash-shiddiqin ar-ruhama’. “Berpasrah dirilah kepada Allah. Sesugguhnya Allah mencintai orang-orang yang pasrah.” (QS Ali Imran: 159).
Jadi, sabar itu tak ada batasnya. Yang terbatas adalah kemampuan kita untuk bersabar, tergantung pada seberapa tangguh kita mengendalikan keinginan-keinginan nafsu. Dari empat tingkatan sabar itu, sudah dimanakah kita?
(SUMBER ARTIKEL : TQNNEWS.COM)