Ada seorang lelaki di Gunung Guci, Tegal, Jawa Tengah bernama Dakot. Namanya tersohor di tempat itu. Jika kita pergi ke Gunung Guci saat ini, tanyalah nama Dakot, Insya Allah semua orang kenal dia. Dakot dulunya telah khatam melakukan molimo (lima dosa). Dia berkata bahwa air minumnya adalah minuman keras.
Ia dulu bekerja di bagian restribusi wisata pemandian air panas Gunung Guci. Uang habis di meja judi, berantem adalah hobi dan pekerjaannya sehari-hari. Mencicipi wanita yang bagaimanapun dia sudah pernah. Intinya semua kemaksiatan seakan-akan sudah pernah ia lakukan. Suatu saat ia datang ke Pondok Pesantren Suryalaya karena diakali temannya, Selamet Anshori yang mengatakan kepadanya bahwa ada seorang dukun sakti di Suryalaya yang dapat memberikan ilmu kanuragan kepada Dakot.
Dakot yang gemar dengan ilmu-ilmu seperti itu sangat senang mendengarnya. Ia lalu menerima tawaran Selamet Anshori.
Ketika sampai di Pondok Pesantren Suryalaya pun, di mobil, Dakot masih membawa satu kerat minuman keras padahal mau bertemu dengan Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin QS (Abah Anom). Dakot yang masih teler berat tadinya tidak mau masuk bertemu Abah Anom, namun akhirnya bersama lima orang temannya, ia masuk ke rumah Abah Anom. Di dalam rumah tersebut, Abah Anom memberikan pembelajaran (talqin) dzikir.
Awalnya, Dakot menunjukan penolakan untuk ditalqin. Namun setelah tangan Abah Anom dengan lembut memegang kepala Dakot untuk nunduk, Dakot menurut dan proses talqin dzikirpun terjadi. Proses talqin dzikir ini menembus qalbu Dakot. Dakot juga dido’akan. Terjadilah perubahan yang dahsyat dalam diri Dakot.
Dakot bertobat, ia kemudian dikenal sebagai orang yang tekun beribadah dan membenci maksiat. Ia menjadi tokoh di tempatnya dam gemar mengajak masyarakatnya beribadah, berdzikir dan berbuat baik.
Ada beberapa hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Dakot ini jika dikaitkan dengan profesi guru yang harinya diperingati setiap tanggal 25 November. Hikmah dan pelajaran yang sekaligus bahan introspeksi bagi para guru, yaitu Abah Anom adalah guru. Bahkan memiliki lembaga pendidikan. Walau pekerjaannya sama dengan guru-guru lainnya, yaitu mengajarkan ilmu dengan penguasaan yang baik terhadap prinsip-prinsip didaktik metodik, tetapi Pangersa Abah lebih dari itu. Bagi Abah Anom, murid tidak hanya pintar dalam penguasaan pelajaran umum dan agama yang literlek. Murid harus diberikan pembelajaran (talqin) dzikir yang dapat menembus ke dalam qalbu dan dapat membersihkan qalbu. Qalbu yang bersih atau suci dapat tersambung dengan Allah SWT Yang Maha Suci dan Maha Mensucikan. Jika qalbu mereka bersih, maka perilaku mereka pun menjadi bersih dan baik.
Bukankah tujuan pendidikan nasional tidak sekedar mencerdaskan kehidupan bangsa yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani saja, tetapi juga mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, sehat ruhani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan?
Selain itu, murid juga harus dido’akan. Di dalam Islam, do’a memiliki kedudukan yang penting. Ada beberapa hadits yang menunjukan hal itu.
Sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia dihadapan Allah, selain daripada do’a.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
“Siapa saja yang tidak mau memohon (sesuatu) kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).
“Mintalah kepada Allah akan kemurahan-Nya, karena sesungguhnya Allah senang bila dimintai (sesuatu).” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Majah).
“Sesungguhnya do’a itu dapat member manfaat (bagi pelakunya) untuk sesuatu yang telah terjadi. Maka wahai hamba Allah, lakukanlah do’a itu.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar).
“Tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini yang berdo’a kepada Allah, kecuali akan dikabulkan do’anya atau dijauhkan suatu keburukan atau musibah yang serupa.” (HR. Tirmidzi dan Hakim dari Ubadah Ibn Shamit).