kepala ikan

Syaikh Kepala Ikan

Pada suatu masa, di sebuah pantai, tersebutlah seorang nelayan miskin yang juga guru sufi, tinggal sendiri dengan pekerjaan hariannya menjala ikan di laut. Hasil tangkapannya lalu ia jual di pelelangan, dan uangnya ia pakai untuk membangun zawiyah (padepokan) sederhana, sebagai majlis ta’lim tempatnya mengaji ilmu tasawuf.

Di kampung nelayan itu, ia memiliki banyak murid yang menghormatinya. Mereka tahu, bahwa gurunya ini setiap hari suka membuat sup kepala ikan, yang dibuatnya dari sisa-sisa ikan hasil tangkapannya yang tidak laku. Sehingga, kemudian orang-orang sekampung nelayan itu menjulukinya “Syaikh Kepala Ikan”.

Suatu hari, salah seorang muridnya yang pedagang keliling, datang menghadapnya untuk minta doa. Katanya, “Aku mau mencoba peruntungan dengan berjualan ke Kordoba.” Syaikh Kepala Ikan mendoakannya, lalu memberi pesan, bahwa di Kordoba ada gurunya yang terkenal sebagai Syaikhul-Akbar Ibnu ‘Arabi. Ia minta si pedagang mengunjunginya untuk menyampaikan salam, bahkan mohon nasihat dalam urusan pencapaian maqam spiritualnya – siapa tahu ada peningkatan batin, katanya.

Singkat cerita, tatkala si pedagang sampai ke tempat Syaikhul-Akbar Ibnu ‘Arabi, alangkah terkejutnya ia. Tempat Syaikhul-Akbar itu ternyata sebuah gedung yang layaknya istana, dengan sekelilingnya taman-taman indah, dan banyak pelayan pria-wanita muda yang hilir-mudik dengan kesibukan masing-masing.

Begitu diantar oleh salah satu pelayan, si pedagang menemui Syaikhul-Akbar di sebuah ruang tamu yang luas dan megah, dan didapatinya Syaikhul-Akbar berpakaian yang layaknya sultan. Ia merasa deg-degan, nyalinya mengkerut, dan matanya tertunduk karena tak berani beradu pandang dengan Syaikhul-Akbar.

Dengan terbata-bata, si pedagang menyampaikan salam dari guru sufinya, yang dikampung nelayan dikenal sebagai Syaikh Kepala Ikan. Juga, katanya, “Syaikh saya pun mohon nasihat, terutama dalam hal pencapaian maqam spiritualnya…” Syaikhul-Akbar menjawab lembut, “Katakan padanya, ia masih terlekat dunia.”

Si pedagang kaget, malah tersinggung mendengar nasihat dari orang yang penampilannya penuh kemewahan seperti itu. Tatkala bulan depannya si pedagang kembali ke kampung nelayan, segera ditemuinya guru sufinya, dan disampaikannya pesan balik dari Syaikhul-Akbar, dengan dibumbui kesan-kesannya yang ia anggap absurd.

Katanya, “Aneh sekali, bagaimana beliau mengatakan kalau Guru masih terlekat dunia, padahal beliau sendiri saya lihat dikelilingi belitan dunia?” Tapi, Syaikh Kepala Ikan tiba-tiba menangis lirih, lalu isaknya, “Kau belum tahu, bahwa seseorang bisa saja lahirnya mencapai kekayaan yang melimpah sebanyak yang dicapai oleh batinnya, tanpa kehilangan pandangan qalbu yang fokus kepada Allah. Sungguh, yang kau lihat pada Syaikhul-Akbar guruku itu hakikatnya bukan kekayaan material, tapi pencapaian spiritual yang sangat tinggi!”

Lalu ia tersengguk, dengan air mata yang deras, lirihnya, “Beliau benar, memang aku kalau malam menjelang sahur suka membuat sup kepala ikan, sambil kubayangkan kepala ikan itu seakan-akan ikan yang utuh, aku memang masih terlekat dunia…”

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *