Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis, ia berkata, “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun, dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku, sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja, dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”
Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya.
Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut, aku tak tahu harus memulai dari arah mana.
Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak Tua.
Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu, maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai atau sisa makanan.
Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong, rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung.
Aku lebih sedih memikirkan nasib pak Tua dari pada nasib si bocah.
Aku pun turun dari bukit dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam.
Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian? Ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
Aku berjalan menujuk kemah pak Tua, aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?
Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam, maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya. ia mendahuluiku dengan bertanya, “Di mana si bocah?”
Namun kataku, “Jawablah terlebih dahulu, siapakah yang lebih dicintai Allah, Engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah”, jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali. “Tentu Ayyub…” jawabnya.
Baca juga : Ivan Agueli Sang Pelopor Tasawuf di Eropa , Berbuat Kebaikan Dengan Menjadi Kontributor
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung, ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.
Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya, namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya, hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya, lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya.
Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka, nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku.
Kukatakan, “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya, maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”
“Iya…” jawab mereka.
Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya, namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak,“Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”
Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh.
Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah.
Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah, ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna, ia berjalan-jalan di tanah yang hijau, maka aku bertanya kepadanya, “Hai Abu Qilabah, apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
Maka jawabnya, “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah dan dikatakan kepadaku di dalamnya: Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu, maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali.”
Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian. Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.