Abu Yazid al-Bistami adalah seorang sufi besar yang lahir di Bistham, Persia (Iran). Wafat pada 261 H/874 M dan dimakamkan di sana. Nama kecilnya adalah Taifur.
Oleh ibunya, Taifur disekolahkan. Di sekolah, dia belajar al-Quran. Suatu hari, pelajaran sampai pada penjelasan makna surat Luqman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Kepada-Kulah kalian akan kembali”, (QS Luqman: 14).
Hati Taifur bergetar mendengar ayat ini.
“Guru”, tanyanya sambil meletakkan buku catatannya, “Izinkan aku pulang dan mengatakan sesuatu pada ibuku”. Gurunya mengizinkan. Taifur pun bergegas pulang.
“Ada apa Taifur?” tanya ibunya heran, “mengapa kamu pulang? Apakah mereka memberimu hadiah, atau ada acara khusus?”
“Tidak Ibu”, jawab Abu Yazid kecil, “Tadi pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkanku untuk mengabdi kepada Dia dan kepada Ibu. Aku tidak bisa menjadi pembantu di dua rumah sekaligus. Ibu, ayat ini membuatku gelisah. Hanya ada dua pilihan: Ibu memintaku dari Allah agar aku dapat menjadi milik ibu sepenuhnya, atau Ibu menyerahkanku kepada Allah agar aku bisa tinggal sepenuhnya bersama-Nya.”
“Anakku. Aku serahkan dirimu kepada Allah dan membebaskanmu dari segala kewajiban kepadaku,” jawab ibunya tegar. “Pergilah dan jadilah milik Allah!”
“Tugas itu aku pikir adalah tugas yang terbelakang, namun akhirnya terbukti bahwa itu adalah tugas yang terdepan,” kenang Abu Yazid. “Yaitu membahagiakan ibuku. Dalam membahagiakan ibuku, aku justru memperoleh semua yang aku cari dalam banyak latihan kedisiplinan dan ibadahku.”
Abu Yazid kemudian berkisah: Suatu malam, ibuku memintaku mengambilkan air minum. Aku bergegas mengambilkannya, namun tak ada air di teko. Aku pun mengambil kendi, dalam kendi pun tak ada air. Lalu aku pun pergi ke sungai dan mengisi kendi itu. Saat aku sampai di rumah, ibuku sudah tidur.
Malam itu udara sangat dingin. Aku memegang teko itu dengan tanganku. Ketika ibuku bangun, beliau pun minum lalu mendoakanku. Ketika beliau mengetahui tanganku menggigil memegang teko itu, dia bertanya.
“Mengapa tak kau letakkan saja teko itu?”
“Aku takut, saat ibu bangun aku tidak ada di samping ibu,” jawabku.
“Biarkan pintu itu terbuka separuh,” pinta ibuku.
Aku pun berjaga sepanjang malam untuk memastikan pintu kamar ibuku tetap terbuka separuh. Aku tidak boleh mengabaikan perintahnya. Saat fajar, apa yang selama ini aku cari-cari itu pun masuk melalu pintu itu.
Baca juga : Kesabaran Ulama Yang Menakjubkan || Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa
Hikmah
Kisah awal perjalanan ruhani Abu Yazid al-Bistami ini mengajarkan, jalan ruhani (tarekat) itu harus dimulai dari rumah kita sendiri, yakni restu kedua orangtua khususnya Ibu. Tarekat itu adalah jalan mencari ridha Allah, sementara ridha Allah itu, seperti dinesehatkan junjungan Nabi SAW, terletak pada ridha kedua orangtua. Tarekat itu adalah jalan untuk meraih cinta Allah, sementara Allah sangat mencintai hamba yang berbakti kepada ibu-bapaknya.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Aku bertanya kepada Nabi SAW, ‘manakah amalan yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘shalat tepat waktu’, Lalu apa lagi? Beliau menjawab, ‘berbakti kepada orangtua.’ Aku bertanya, lalu apa lagi? Beliau menjawab, ‘’berjihad di jalan Allah’.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Tareket adalah jalan mencari keselamatan di akherat, sementara surga-neraka itu berada dalam genggaman ibu-bapak.
“Seseorang bertanya kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak kedua orangtua terhadap anaknya?’ Beliau menjawab, ‘Keduanya adalah surgamu dan nerakamu’”. (HR. Ibnu Majah)
Allah swt berfirman, “Allah telah menetapkan agar kalian tidak mengabdi kecuali kepada-Nya, dan berbaktilah kepada kedua orangtua.” (QS Al-Israa: 23).
Tarekat adalah jalan menapaki tasawuf. Sementara inti tasawuf adalah tauhid dan akhlak. Syaikh Abdul Qadir al Jailani berpetuah, tasawuf adalah kokohnya keyakinan kepada Allah dan kemuliaan akhlak kepada sesama mahluk. Bertarekat adalah menumbuhkan benih tauhid dalam dada, sekaligus memperindah akhlak kepada sesama mahluk Allah. Dan mahluk terdepan yang harus dipergauli dengan akhlak terbaik, selain Nabi SAW, adalah ibu dan bapak kita.