sabar

Sabar Itu Tak Ada Batasnya

Hikmah

Kisah ini memberikan pengajaran bahwa sabar itu tak berbatas. Berbeda dengan apa yang umumnya dipahami, bahwa sabar itu selalu ada batasnya. Artinya, pada batas tertentu, setelah menahan sakit atau derita, wajar bila kita marah, mengeluh atau balas dendam. Tapi benarkah demikian dalam Islam?

Sabar memang berat. Rasulullah SAW menyatakan, “Sesungguhnya sabar adalah pukulan yang terberat”. (HR. Bukhari)

Tapi seberat apapun, sabar adalah bagian dari iman. Siapapun yang mengaku beriman kepada Allah, ia wajib memiliki sifat sabar. Iman tanpa sabar ibarat badan tanpa kepala. Sebab sabar adalah level tertinggi dalam keimanan. Sayyidina Ali KW berkata, “Posisi sabar dalam keimanan adalah seperti posisi kepala pada tubuh.”

Menempati level tertinggi ini, sabar tentu menyimpan segudang pahala dari Allah. “Dan Kami pasti akan menganugerahi orang-orang yang bersabar ganjaran yang terbaik dari apa yang telah mereka lakukan”. (QS. An-Nahl: 96).

Secara bahasa, sabar (Shabara) berarti ‘mengikat’ atau ‘mengekang’ sesuatu. Dalam hal ini, sabar berarti mengikat, mengekang atau menahan diri dari melakukan sesuatu. Nah, sabar menjadi berat karena yang ditahan/dikekang bukan sesuatu yang tampak mata, tapi sesuatu yang kasat mata/ghaib, dan berada di dalam diri kita sendiri. Entah seperti apa bentuknya dan di mana bersemayam, sesuatu itu-lah yang menggerakkan aliran darah, hembusan nafas dan seluruh bagian tubuh kita. Terkadang ia pula yang mengendalikan pikiran kita.

Kita menamakannya dengan ‘hawa nafsu’ (al Hawa). Ini adalah bagian dari kekuatan pada diri manusia, yang Allah anugerahkan sebagai “alat” untuk melangsungkan hidup di alam dunia. Ia adalah sumber munculnya perasaan, keinginan, amarah dan ambisi. Dari nafsu itu kita menginginkan sesuatu. Darinya kita merasakan nikmat/sakit. Darinya pula kita marah/dendam saat disakiti orang.

Sebagai penggerak seluruh aktifitas manusia, nafsu rawan menjadi pintu masuk setan/iblis untuk menggoda manusia agar ingkar pada Allah. Maka dari itu, Allah swt mengingatkan, “Dan aku tidak berlepas diri, karena sungguh (hawa) nafsu itu selalu menggiring pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS Yusuf: 53).

Sejatinya, nafsu adalah bagian dari ruh sehingga merupakan fitrah. Ketika ruh dimasukkan ke dalam tubuh, nafsu mulai bekerja dan tumbuh seiring pertumbuhan badan. Lama kemudian, ia menjadi kuat dan menjadi pengendali utama seluruh tubuh dan pikiran.

Di sinilah problem mulai muncul. Keterikatan nafsu dengan hal-hal duniawi/bendawi menjadi sangat kuat. Kondisi ini disebut dalam agama dengan cinta dunia (hubbudunya). Seseorang menjadi sangat cinta kepada harta, kekuasaan, jabatan, barang-barang mewah, pujian, popularitas, seks, dan lain-lain. Atas dorongan nafsu, ia terus memikirkan dan berusaha keras meraih semua yang dicintainya itu, tak peduli jika melanggar aturan-aturan Allah.

Kondisi ruhani ini terjadi pada kebanyakan manusia. Mereka tunduk pada setiap kemauan nafsu. Sementara bagian lain ruhnya, yaitu qalbu dan akal, tak berdaya, dan turut pula dikendalikan sang nafsu. Ini karena selama hidupnya, tuntutan nafsu lebih dikedepankan dari pada tuntutan qalbu dan akal.

(Baca juga : Ini Dia Rahasia Anak Shalih)

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *