Rabi’ah Al-Adawiyah adalah legenda perempuan shalihah dari generasi awal kaum Sufi. Konon, ketinggian maqam spiritualnya melampaui gurunya Hasan al-Basri. Hidup sekitar abad kedua hijriah, Rabi’ah tidak menikah. Dalam hatinya tiada sisa tempat bagi cinta kepada selain Allah.
Pada malam ketika Rabi’ah dilahirkan, tak ada apa-apa di rumahnya. Orangtuanya hidup sangat miskin. Bahkan keluarga itu tidak memiliki setetes minyak pun untuk mengolesi pusar Rabi’ah. Tak ada lampu. Juga tak ada sehelai kain pun untuk membungkus bayi yang baru lahir itu.
Keluarga itu telah memiliki tiga anak perempuan dan Rabi’ah adalah yang keempat. Ini mengapa ia diberi nama Rabi’ah (yang keempat).
“Pergilah ke tetangga. Mintalah setetes minyak agar aku bisa menyalakan lampu,” pinta sang istri.
Namun, lelaki itu telah bersumpah tidak akan pernah meminta apapun dari manusia. Maka ia pun pergi dan hanya menyandarkan tangannya di pintu rumah tetangganya, lalu kembali.
“Mereka tak membukakan pintu,” lapor lelaki itu pada istrinya.
Perempuan malang itu menangis pilu. Dalam kondisi yang serba membingungkan itu, lelaki itu duduk menyandarkan kepalanya di atas lutut dan tertidur.
Dalam tidurnya, dia bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW. “Jangan bersedih,” hibur Nabi. “Anakmu yang baru saja lahir itu adalah seorang ratu bagi kaum perempuan. Dia kelak akan menjadi pemberi syafaat bagi 70 ribu umatku di Hari Kiamat,” lanjut Nabi. “Pergilah kepada Isa al-Zadan, Gubernur Basrah. Tulislah pada selembar kertas kalimat ini: ‘Setiap malam engkau bershalawat kepadaku 100 kali dan 400 kali pada Jum’at malam. Kemarin malam adalah Jum’at malam dan kau melupakanku. Sebagai tebusannya, berikan pada lelaki ini empat ratus dinar dari hartamu yang halal.”
Ketika bangun, ayah Rabi’ah bercucuran air mata. Dia pun bangkit dan menuliskan kalimat dari Nabi itu. Kemudian ia mengirimkan pesan itu kepada Gubernur melalui seorang pengawal Gubernur.
“Bagikan dua ribu dinar kepada fakir-miskin,” perintah Gubernur setelah membaca pesan itu, “sebagai ungkapan syukurku karena Nabi telah mengingatku. Dan berikan empat ratus dinar kepada bapak tua itu, dan katakan kepadanya, ‘Aku berharap Anda berkenan datang agar aku bisa menemui Anda. Namun aku rasa tidak sepantasnya orang seperti Anda datang menemuiku. Lebih pantas aku yang datang mengunjungi Anda dan menempelkan janggutku di ambang pintu rumah Anda. Bagaimanapun, aku mohon demi Allah, apapun yang sedang Anda butuhkan, katakan saja.”
Ayah Rabi’ah pun menerima uang emas itu dan membeli semua kebutuhannya.
Baca juga : Ada Allah yang Mengatur Segalanya
Hikmah
Kisah ini memberikan pelajaran, bahwa seorang anak shalih lahir dari rahim orangtua yang shalih. Saat masih di alam ruh, manusia itu masih suci. Cahaya imannya bersinar terang. Kesuciannya itu akan tetap terjaga atau tidak tergantung pada bagaimana kedua orangtuanya menyambut kelahiran dan membesarkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap manusia dilahirkan dalam fitrah (kemurnian). Kedua orangtuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.” (HR. Muttafaqun ‘alaîh).
Ibu-bapak sejatinya adalah sepasang manusia yang Allah tugaskan untuk menyambut kedatangan ruh-ruh manusia dari alam ruh ke alam dunia. Keduanya juga ditugaskan untuk merawat kesucian ruh-ruh manusia yang kelak berstatus anak-anaknya itu.
Seorang pelaut memerlukan kendaraan kapal untuk mengarungi samudera. Ruh memerlukan tubuh untuk berlayar di alam dunia. Keselamatan si pelaut pertama-tama ditentukan oleh kualitas kapal yang hendak digunakannya. Begitu juga ruh, kesuciannya dapat terjaga atau tidak tergantung pada kualitas jasad yang ditempatinya. Maka yang pertama harus dipersiapkan oleh ibu-bapak adalah tubuh yang baik bagi ruh anaknya.
Untuk mendapatkan keturunan yang sholeh, Imam Syafi’i dalam satu nasehatnya, ada tiga hal yang harus diperhatikan orangtua:
Pertama, makanan/minuman halal (az-zâd al-halâl). Setelah dimasukkan ke dalam jasad, kondisi ruh menjadi terikat dengan jasad tersebut. Jasad yang terbentuk dari saripati makanan/minuman yang halal dapat menjaga kesucian ruh yang menempatinya. Maksud halal di sini, makanan/minuman itu sendiri terbuat dari bahan-bahan yang halal, dan makanan/minuman tersebut diperoleh dengan jalan yang halal pula. Sebaliknya, jasad yang terbentuk dari makanan/minuman yang tak jelas halal-haramnya (syubhat), apalagi yang jelas keharamannya, dapat mengotori kesucian ruh. Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai Sa’ad, perbaikilah (murnikanlah) makananmu, niscaya kau menjadi orang yang terkabul do’anya. Demi yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, sesungguhnya seorang hamba melontarkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama empat puluh hari. Siapapun yang dagingnya tumbuh dari yang haram maka api neraka lebih layak membakarnya.” (HR. Ath-Thabrani).
Baca juga : Sejarah Tentang Tasawuf
Setelah dikonsumsi, makanan/minuman haram akan menjadi awan hitam yang menutupi cahaya ruh. Kisah di atas menggambarkan kehati-hatian seorang ayah menafkahi putrinya yang baru lahir. Bahkan ia tidak mau sembarangan menerima apalagi meminta sesuatu dari orang lain. Akhirnya Allah langsung yang memenuhi kebutuhannya lewat tangan Gubernur Basrah.
Kedua, do’a orangtua. Orangtua adalah termasuk yang do’anya mustajab. Oleh karenanya, harus sering berdo’a untuk anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda:
“Ada tiga do’a yang tidak tertolak yaitu do’a orang tua, do’a orang yang berpuasa dan do’a seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi).
Namun, tidak hanya anak, orangtua pun tubuhnya harus dijaga dari asupan makanan/minuman yang tidak halal, karena makanan/minuman yang haram menjadi sebab tertolaknya do’a. Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima do’a itu?” (HR Muslim)
Ketiga, kebersihan qalbu kedua orangtua (shofa al-qalbi). Tenggelam dalam kesibukan dunia, asupan makanan/minuman yang bermacam-macam serta berbagai kesenangan duniawi sering kali membuat diri seseorang kotor oleh penyakit-penyakit ruhani seperti dengki, hasut, sombong, cinta dunia (hubb ad-dunya) dan lain-lain. Semuanya ini adalah penyebab kotornya ruh sehingga kelak di Akhirat harus dibersihkan dahulu di neraka. Kisah di atas menggambarkan, bagaimana keteguhan seorang ayah membentengi qalbunya dari ketergantungan pada selain Allah. Keyakinannya kepada Allah begitu kokoh sehingga Allah menganugerahinya mimpi bertemu Nabi SAW, mencukupi kebutuhannya dan menjadikan putrinya sebagai kekasih-Nya (waliyullah).
Ketiga hal ini terkait satu sama lain. Intinya adalah siapapun yang mendambakan keturunan yang shaleh/hah, harus membersihkan dirinya lahir maupun batin. Secara lahir, badannya dibersihkan dari asupan makanan/minuman yang haram dan syubhat. Secara batin, ruhnya dibersihkan dari berbagai penyakit ruhani seperti dengki, hasut, sombong, cinta dunia, malas ibadah dan lain-lain. Dengan sendirinya, dia akan menjadi suka mendekatkan diri kepada Allah swt, karena cahaya ruhnya kembali bersinar terang. Allah pun akan mendekat kepadanya lebih dekat lagi. Maka, anak yang lahir dari benih orangtua yang dekat kepada Allah akan dekat pula dengan-Nya. Bahkan, mungkin akan lebih dekat lagi. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
“Apabila seseorang mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Apabila ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta Aku akan mendekat sedepa, dan apabila ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang dengan berlari.” (HR. Bukhari).