Bisyr al-Harits lahir di sekitar kota Merv pada 767 Masehi. Merv adalah kota tua di wilayah Turkmenistan, Asia Tengah. Kemudian beliau tinggal di Baghdad. Beliau adalah seorang syaikh terkenal pada zamannya. Setelah bertaubat dari kehidupannya yang glamor, Bisyr muda berguru pada Syaikh Fudail bin ‘Iyadh.
Tentang ketawadhuan beliau, seorang sahabatnya bercerita; Saat itu aku sedang bersama Bisyr al-Harits. Cuaca sangat dingin. Aku mendapatinya tidak mengenakan baju dan sedang mengigil kedinginan.
Aku berkata kepadanya, “Abu Hashr, di cuaca sangat dingin begini orang-orang biasanya mengenakan pakaian serba tebal. Engkau malah melepaskan bajumu.”
Beliau menjawab, “Ya. Aku jadi teringat pada orang-orang miskin. Aku tidak punya uang untuk membantu mereka, maka aku ingin sekali berbagi rasa dengan mereka.”
Hikmah
Kisah ini mengandung nasehat, bahwa kita harus peduli pada orang lain, terutama pada mereka yang kondisinya di bawah kita. Paling tidak, apa yang kita katakan dan lakukan tidak boleh merugikan orang lain. Begitu halnya dengan sikap kita, jangan sampai tanpa disadari ternyata menyinggung orang lain.
Untuk orang yang berhati-hati seperti ini, Rasulullah SAW memuji: Rasulullah SAW berdiri di hadapan beberapa orang, lalu bersabda, “Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik dan seburuk-buruk orang dari kalian?” Mereka terdiam, dan Nabi bertanya seperti itu tiga kali. Lalu ada seorang yang berkata, “Iya, kami mau wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami sebaik-baik dan buruk-buruk kami.” Beliau bersabda, “sebaik-sebaik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan keburukannya terjaga…” (HR. At-Tirmidzi).
Lebih baik lagi jika selalu sadar agar setiap kata yang terucap, sikap yang terungkap dan perbuatan yang dilakukan, bermanfaat bagi orang lain. Sekalipun itu tak ada untungnya atau bahkan merugikan kita sendiri. Sikap inilah yang dicontohkan oleh para rasul Allah dan auliya (kekasih-Nya) yang seumur hidupnya berjuang membimbing manusia di jalan-Nya. Untuk yang memiliki kepribadian seperti ini, Rasulullah saw memuji, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat bagi orang lain”. (HR. Ahmad, Thabrani).
Ketika kita tak mampu memberi manfaat atau bantuan lebih bagi orang-orang di sekitar, paling tidak kita harus menunjukkan empati/kepekaan terhadap mereka. Di depan mereka yang miskin harta, jangan tunjukkan kemewahan yang kita miliki. Di hadapan orang sakit, jangan tunjukkan kesenangan dan kebanggaan diri. Bersama orang-orang awam, jangan banyak berbicara perkataan yang ‘melangit’, dan seterusnya. Kecuali ada maksud positif untuk memberikan motivasi atau bimbingan tertentu.
Baca juga : Terkabulnya Do’a Si Pembuat Roti, Ayo Menjadi Kontributor di Manaqib.id
Jika tidak demikian, tanpa disadari kita akan mudah menyinggung perasaan orang lain. Bahkan, jika sering atau berlebihan, orang itu mungkin akan merasa terzalimi sedangkan kita tak menyadarinya. Kita sendiri yang akan dirugikan. Rasulullah SAW mengingatkan, “Takutlah engkau pada do’anya orang yang terzalimi. Sebab antara dia dan Allah tak ada hijab”. (HR. Ahmad dan Bukhari).
Keunggulan duniawi memang sering membuat kita sombong. Saat kita kaya, akan mudah merendahkan yang miskin. Dengan kepintaran kita, akan mudah meremehkan yang bodoh. Dengan kecantikan kita, akan mudah merendahkan yang penampilannya biasa. Bahkan, keunggulan relijius dan spiritual pun tak jarang membuat seseorang mudah meremehkan yang ibadahnya kurang taat dan pengalaman spiritualnya lebih sedikit.
Rasulullah SAW bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia”. (HR. Muslim).
Untuk itu, seperti dicontohkan Syaikh Bisyr pada kisah di atas, hendaknya kita gemar menyejajarkan diri dengan orang-orang yang lebih rendah keadaannya, baik dalam hal duniawi maupun ruhani, meskipun kenyataannya kita lebih tinggi. Kita mau bergaul dengan mereka sebagaimana kita bergaul dengan orang-orang yang sederajat atau yang lebih tinggi.
Syaikh Abdullah Murabok (1836-1956), seorang ulama sufi dari Tasikmalaya, dalam Tanbih-nya berwasiat, “Terhadap orang-orang di bawah kita, janganlah menghina atau berbuat semena-mena, tak mau menghargai. Sebaliknya, bergaullah dengan mereka dengan kasih-sayang dan penuh kerelaan, terhadap fakir-miskin harus berkasih-sayang, berbudi bersih, serta bermurah tangan. Tunjukkanlah bahwa hati kita peduli.”
Ini mungkin berat, tetapi sangat dianjurkan, sebagai terapi ruhani untuk merontokkan atau menghindarkan diri dari virus kesombongan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku hendaknya kalian merendahkan hati sehingga tak seorang pun menyombongkan diri dan berbuat semena-mena atas yang lain.” (HR. Muslim).
Sombong bermula dari lupa diri. Kita merasa, semua keunggulan duniawi, relijius atau spiritual itu adalah prestasi kita, milik kita yang diperoleh karena kehebatan kita. Kita lupa bahwa itu semua adalah pemberian dari Allah. Kita lupa semua itu dianugerahkan Allah bukan untuk dimiliki, dibanggakan apalagi disombongkan. Sebaliknya, setiap keunggulan itu menjadi ujian bagi kita. Allah SWT mengingatkan, “Dan Dialah yang menjadikan kalian para penguasa di bumi. Dia meninggikan sebagian dari kalian beberapa derajat, untuk menguji kalian atas apa yang Dia anugerahkan pada kalian”. (QS Al-An’am: 165).
Kita justru akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap nikmat yang diperoleh, apalagi jika nikmat tersebut berlebih di atas orang lain. “Kemudian, sungguh kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas semua nikmat itu”. (QS At-Takatsur: 8).
Baca juga : Mati itu kepastian, Husnul Khatimah itu Pilihan Terbaik, Ayo Menjadi Kontributor di Manaqib.id
Semua datang dari Allah. Apa yang kita miliki dari Allah. Diri kita pun ciptaan Allah. Semua diatur dan digerakkan oleh Allah. Pada masanya masing-masing, seluruhnya akan kembali kepada-Nya. Tak terkecuali diri kita dan apa yang selama ini kita miliki.
Saat maut menjemput, tak satu pun ikut. Semua kesenangan yang kita buru seumur hidup akan sirna. Semua yang kita banggakan, pangkat, jabatan, kekayaan, ilmu, kecantikan tak akan berarti apa-apa. Tubuh pun akan kita campakkan.
Dilihat dari kapan kita akan mati, dan bagaimana kondisi kita saat dimatikan, kita semua sama. Semua menjadi rahasia dan kehendak Allah. Lalu apa yang dibanggakan? Apa pula alasan tetap merasa diri lebih baik dari pada yang lain?
Bekal terbaik menjalani hidup bukan segala kemewahan dunia itu, tetapi takwa. Jika hidup dijalani dengan takwa, ini menjadi bekal menjemput kematian. “Berbekallah. Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai para pemilik qalbu”. (QS Al-Baqarah: 197).
Takwa tak ada hubungannya dengan tampilan luar seseorang. Ia bisa dimiliki siapapun yang beriman kepada Allah. Miskin, kaya, pintar, bodoh, ulama, awam, semua memiliki kesempatan yang sama untuk takwa. Ini menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Allah. Inilah yang menentukan kualitas hidup seseorang di dunia. Ini pula yang menentukan kebahagiaannya kelak di kubur dan akherat.
Maka, belajarlah untuk menghargai orang lain, dan peduli pada kondisi mereka, apalagi yang lebih rendah dari kita. Barangkali di antara mereka ada yang bertakwa dan dikasihi Allah. Jika kita memperlakukannya dengan santun, kita akan memperoleh limpahan doanya. Karena Allah akan mengabulkan doa setiap hamba yang dikasihi-Nya. Sebaliknya, jika kita menzaliminya, Allah-lah yang akan membalaskannya pada kita.
Allah SWT berfirman, Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaKu, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya”. (HR Bukhari).
Barangkali juga, orang yang kita anggap biasa ternyata mulia di sisi Allah. Sementara kita, yang dianggap mulia oleh banyak orang, karena ibadah, penampilan, ilmu atau harta kita, ternyata tidak demikian di mata Allah. Kita harus pandai menempatkan diri. Kita ini diciptakan sebagai hamba. Maka jangan pernah menjadi tuan bagi hamba Allah yang lain.