berguru

Sejarah Tentang Tasawuf (1/2)

Sejarah Tasawuf

Perkembangan dakwah tasawuf dimulai setelah berakhir masa sahabat dan tabi’in. Pada masa mereka, dakwah ini belum dikenal karena memang belum dipandang perlu. Sebab merekalah orang-orang yang ahli takwa, ahli wara dan ahli ibadah pada zamannya. Secara fitrah dan sudah kehendak Allah, mereka terpanggil untuk bersikap seperti itu. Mereka mengenal dekat Nabi Muhammad SAW. Mereka selalu bersemangat meniru perilaku beliau di segala aspeknya baik lahir maupun batin.

Jadi, meski dakwah tasawuf pada masa itu tidak dikenal, karena memang belum menjadi nama suatu ilmu tersendiri, mereka sejatinya telah mengerjakan praktik-praktik tasawuf itu sendiri. Para sahabat tidak membutuhkan alat/perangkat khusus untuk menyerap aspek batin ajaran Nabi, karena mereka dapat meminumnya langsung dari sumbernya. Tasawuf masih merupakan realitas tanpa nama. Meski demikian, ia adalah satu sisi dari bangunan keberagamaan Nabi dan para sahabatnya.

Meskipun para sahabat dan tabi’in tidak menggunakan kata tasawuf, tapi pada parkteknya mereka adalah para sufi. Mereka adalah para praktisi tasawuf sesungguhnya. Yang dimaksud tasawuf tiada lain adalah, bahwa seseorang hidup hanya untuk Tuhannya, bukan untuk dirinya. Dia menghiasi dirinya dengan zuhud, tekun beribadah, berkomunikasi dengan Allah dengan ruh dan jiwanya di setiap waktu, dan berusaha mencapai berbagai kesempurnaan. Dia meraih apa yang telah diraih para sahabat dan tabiin, yakni tingkat spiritualitas tertinggi.

Para sahabat tidak hanya mengikrarkan iman dan menjalankan kewajiban-kewajiban. Mereka juga menyinari ikrarnya itu dengan perasaan, menambah kewajiban-kewajibannya dengan amal-amal sunnah, menjauhkan diri dari yang haram bahkan dari yang makruh. Sehingga mata hati mereka pun bersinar terang, percik-percik hikmah terpancar dari nurani mereka, dan rahasia-rahasia ilahiah berlimpah dalam jiwa mereka. Begitu halnya para tâbi’în dan tâbi at-tâbi’în (pengikut tâbi’în). Ketiga generasi itu adalah generasi emas dan sebaik-baik masa dalam peradaban Islam. Nabi bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasi ini, kemudian generasi setelahnya dan generasi yang setelahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di satu sisi, perluasan wilayah Islam dan persinggungannya dengan budaya dan ilmu pengetahuan negeri-negeri lain membawa dampak yang positif bagi umat Islam sendiri. Pada masa ini, perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam sangat pesat. Mereka mulai mengkodifikasi ilmu-ilmu pengetahuan. Lahirlah cabang-cabang ilmu seperti Nahwu, Fikih, Tauhid, Hadits, Ushul Fiqh, Tafsir, Faraid dan lain sebagainya.

Di sisi yang lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi membawa dampak negatif. Pada masa ini justru spiritualitas/semangat ruhaniah Islam sedikit demi sedikit melemah. Umat Islam semakin menjauh dari agama, menjauh dari Allah SWT. Sedikit-demi sedikit ketaatan-ketaatan ritual kian dilalaikan. Badan, pikiran dan hati umat semakin larut dalam kesibukan mengurus kekayaan, barang-dagangan, kekuasaan, teknologi, pengetahuan dan hasrat-hasrat duniawi lainnya.


Baca juga : Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa , Restu dari Orangtua adalah awal tarekat


Fenomena ini membuat sedih para ahli zuhud yang sadar akan keadaan umat tersebut. Mereka akhirnya mulai membangun ilmu tasawuf. Jadi, kemunculan ilmu tasawuf bukan reaksi atas kemunculan ilmu-ilmu yang lain seperti disebut di atas. Tetapi ia muncul untuk mengokohkan kembali apa yang mulai rapuh dari kehidupan kaum muslimin, yaitu ruh agama. [1]

Ilmu tasawuf adalah buah karya para ulama terpercaya. Ia dilandasi oleh wahyu langit. Ia adalah perwujudan dari ihsan yang merupakan satu dari tiga elemen dasar agama, yaitu islam, iman dan ihsan (lihat artikel ‘Apa Itu Tasawuf?’).

Islam adalah kepatuhan dan ibadah. Iman adalah cahaya dan akidah. Sedangkan Ihsan adalah murāqabah (keintiman) dan musyāhadah (penyaksian). Sabda Nabi: “Ihsan adalah bahwa engkau mengabdikan diri kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Sekiranya engkau tidak (mampu) melihat-Nya, maka (yakinlah) Allah melihatmu.” (HR. Muslim)

Maka, siapapun yang kehilangan salah satu dari tiga pilar itu, keberagamaannya belum sempurna. Jadi, sasaran yang dibidik ilmu tasawuf adalah maqam ihsan, setelah seseorang memperbaiki islam dan imannya.

Dalam kitab Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun berkata, “Tasawuf adalah salah satu di antara ilmu-ilmu baru dalam Islam. Asal mulanya ialah amal perbuatan generasi salaf dari para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Fondasi tasawuf ialah tekun beribadah, memutus semua jalan kecuali jalan menuju Allah, berpaling dari kemegahan dan kemewahan dunia, melepaskan diri dari sesuatu yang diinginkan oleh kebanyakan manusia seperti buaian harta dan pangkat, serta mengasingkan diri dari makhluk dan berkhalwat untuk beribadah. Ini semua adalah kebiasaan yang dilakukan para sahabat dan para ulama salaf. Kemudian, pada abad kedua dan seterusnya manusia mulai jatuh dan terlena dengan kesibukan duniawi. Nama sufi pun muncul untuk menjuluki orang-orang yang tekun beribadah.” [2]

Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah bahwa kaum muslimin hingga sepeninggalan Rasulullah menyebut orang-orang yang paling utama di antara mereka dengan nama ‘sahabat’, tidak dengan selainnya. Sebab ketika itu tidak ada julukan yang lebih mulia selain nama ‘sahabat’. Setelah era sahabat, umat berselisih. Tingkatan ketakwaan mereka pun semakin beragam. Orang yang tekun menjalankan aturan agama disebut zahid (ahli zuhud) atau ‘abid (ahli ibadah). Kemudian muncullah berbagai bid’ah, dan setiap kelompok mengklaim bahwa di dalam kelompoknya ada orang-orang yang zuhud. Setelah itu, istilah tasawuf mulai digunakan oleh para ahli zuhud dari kalangan Ahli Sunnah, yang senantiasa memupuk hubungan dekat dengan Allah dan menjaga hati dari kelalaian. Istilah ini telah populer di kalangan mereka sebelum abad kedua hijriah.” [3]

Klik disini untuk selanjutnya—>

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *