AHG1-670x440

Fasilitasi Kebangkitan Lombok dengan Membangkitkan Daya Hidup Penyintas (1/2)

(Repost : TQNNews.com)

Ditulis oleh Drs. Asep Haerul Gani, ikhwan TQN Pontren Suryalaya yang menekuni dunia psikologi. Selama 2 hari (11/9 sd 12/9) ia berada di Lombok berbagi kisah penanganan korban bencana untuk para penyintas. 


Selasa, 11 September 2018

Selasa sore usai memandu Workshop Dai Tanggap Bencana di Masjid Dewan Dakwah Islamiyah Mataram, Kijang Inova putih sudah parkir di depan masjid. Ustadz Aziz , Direktur Pendidikan Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) bersama Ustadz Muchib, Ustadz Eko, Ustadz Fathoni, Fitri relawan Seribu Senyum (SS) dan Zul relawan mandiri dusun Suka Damai, menyambut dan membawa saya ke Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara.

Perjalanan sekitar 111 km melewati jalur pintas Gunungsari itu ditempuh dalam waktu 2,5 jam.

Usai shalat maghrib di hunian sementara Pak Rum yang dijadikan Posko SS SAIM, Ustadz Aziz mengingatkan tim, “Kita ingin masyarakat Suka Damai ini berdaya, sehingga bantuan yang diberikan mempercepat hasrat mereka untuk bangkit bahkan lebih baik dari sebelumnya”. Di mushola darurat berbentuk tenda dari terpal dengan menggunakan alas, lantai mushola lama yang dindingnya sudah dibongkar, tim SS SAIM sarasehan dengan 20 Kepala Keluarga di RT 03 Dusun Suka Damai. Sarasehan ini dihadiri oleh Sekretaris Desa Santong. Ia menyatakan, “Kami atas nama warga mengucapkan terima kasih kepada SS yang telah memberikan ragam bantuan hingga sekarang”.

Dari urun rembug warga diketahui kebutuhan paling banyak dari warga adalah membangun brumah hunian yang dapat digunakan hingga 3 tahun ke depan, sementara mereka mengumpulkan biaya untuk membangun kembali rumah yang sudah hancur. Ada 2 warga yang berkata, “kami masih memerlukan bantuan pangan, karena kami belum memiliki uang, kami tak punya pekerjaan pasti,” ungkap mereka. (repost : tqqnews.com)

WhatsApp Image 2018-07-31 at 17.17.56

Khataman dan Tahlil 100 Hari Ihkwan Alm. Bpk Nani Rohandi

Khataman dan Tahlil 100 hari selepas meninggalnya Ikhwan TQN Suryalaya yaitu Alm. Bapak Nani Rohandi yang berkediaman di Kompleks  Cipatat Elok, Bandung Barat, pada tanggal 27 Juli 2018, yang dipimpin oleh Ust. Asep Yusuf Tajiri dan dihadiri pula oleh Ustazah. Iis Juariah.

Dalam ceramahnya Ust. Asep Yusuf Tajiri meriwayatkan perjalanan Almarhum bersama Istri mendapatkan Talqin Dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya pada tahun 1994, dan semenjak itu tidak pernah berhenti menjalankan amalan Khataman ba’da maghrib setiap senin dan kamis serta mulai mengadakan Manaqib pada tahun 1997 hingga Almarhum meninggal (18 April 2018) dan sesuai dengan permintaan Almarhum ketika masih hidup, hingga saat ini rumah beliau tak berhenti mengadakan Manaqib yang sekarang diurus oleh Isrinya Ibu Euis sekeluarga.

Dalam ceramahnya Ust. Asep menyinggung tentang “panjang umur” dan “makna mengenal Allah SWT”

Panjang umur menurut penuturan Ust. Asep bukan berupa angka semasa kita hidup, namun seberapa besar, sebaik apa dan seberapa lama nama kita selalu disebut dan dikenang, sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW hingga saat ini umat manusia di seluruh penjuru dunia selalu menyebut dan mengangungkan nama beliau dalam segala segi kehidupan, sesepuh dan ulama kita terdahulu masih kita sebut dalam do’a, maka itulah makna dari panjang umur sebenarnya.

Maka ini saatnya bagi kita yang masih hidup memberikan manfaat dan amalan yang baik yang akan berdampak juga pada kita kelak setelah wafat, seperti hari ini kita mendo’akan Alm. Bapak Nani karna kita merasa bahwa beliau semasa hidupnya pernah memberi manfaat kepada kita, untuk itu ketika kita dipanggil Allah SWT maka orang-orang akan senantiasa mendo’akan kita, Inshaallah kita akan mendapatkan predikat panjang umur yang sebelumnya disampaikan….

Dalam hal makna mengenal Allah SWT, Ust. Asep menyampaikan bahwa kita sebagai Ikhwan TQN Suryalaya berterimakasih kepada Alm. Abah Anom ( KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin ) yang mengenalkan dan mengajarkan kita bagaimana cara mengenal Allah SWT dengan diawali Talqin Dzikir yang kita terima dan ajaran-ajaran lainnya sehingga Inshaallah kita tidak akan tersesat ketika kita wafat.

ketika kita wafat kemana tujuan kita selanjutnya ? tentunya ke Allah SWT, lalu bagaimana jika kita tidak tahu Allah itu dimana dan kemana kita mendatanginya ?

seperti halnya kita mengenal orang yang hanya tahu namanya, tapi tidak tahu alamatnya dan tidak tahu bagaimana kita dapat menghubunginya terlebih tidak tahu bagaimana cara mendekatinya ?? jika itu terjadi maka kita pasti tersesat atau mungkin tidak akan sampai ke tujuan.

maka dari itu dengan amalan Tariqah Qadriah Naqsabandiyah yang diajarkan dari Pondok Pesantren Suryalaya Alhamdulillah kita sudah tahu kemana dan bagaimana kita akan kembali ke hadapan Allah SWT.

pesan Penulis : Apabila pembaca yang belum mengenal dan mengetahui metode “Mengenal Allah SWT” seperti tertulis diatas, maka alangkah baiknya mengikuti terus perkebangan dan tausiah dari Mubaligh Ponpes Suryalaya dan mulailah Talqin Dzikir yang dibimbing oleh para Waqil Talqin yang tersebar di seluruh Nusantara. (Ans)

35988511_878980475619490_3481976887910072320_n

Pangersa Abah diizinkan Allah swt Menukar Ajal Murid Kesayangannya

Andalan TQN Suryalaya pd era ’80-an adalah Ajengan Dahlan dari Cianjur. Sosoknya gagah & memiliki semangat khidmat yg luar biasa. Saking besar semangat khidmatnya beliau pernah menyatakan telah menginfaqkan dirinya utk Pangersa Abah. Dan beliau buktikan dgn perjuangan khidmat & dakwah TQN Suryalaya dgn ikhlas tanpa mengenal lelah.
Suatu saat Pangersa Abah mengujinya.

Pada tengah malam Ajengan Dahlan menerima telepon dari Ponpes Suryalaya, memintanya datang untuk menemui Pangersa Abah. Menduga ada tugas penting yg sangat mendesak, segeralah Ia berangkat. Tiba di Suryalaya beliau langsung menemui Pangersa Abah. Ternyata Pangersa Abah malah menyuruhnya kembali ke Cianjur. Maka Ajengan Dahlan segera pulang saat itu juga ke Cianjur dgn rasa suka cita tanpa keluh kesah sedikit pun. Subhaanallaah!

Dalam kesempatan lain, ketika selesai mushafahah dgn Pangersa Abah, tiba-tiba Ajengan Dahlan merasa pusing kleyengan lalu terjatuh tidak sadarkan diri. Para ikhwan & petugas yg ada di madrasah langsung sigap membantu & menggotong tubuh Ajengan Dahlan.

Pangersa Abah pun langsung bersabda, “Segera bawa ke Manel.. Bawa ke Manel.” Orang-orang yang menggotong tubuh Ajengan Dahlan menjadi heran. Kenapa Pangersa Abah malah memerintahkan agar membawanya ke RS Immanuel Bandung? Kenapa tdk membawanya ke RS Tasikmalaya saja yg jaraknya lebih dekat? Namun demikian mereka tetap langsung membawanya ke Bandung.

Setiba di RS Immanuel Bandung, Ajengan Dahlan di bawa ke ruang UGD. Di sana ternyata bersebelahan dgn Haji Fulan sesepuh ikhwan TQN Suryalaya dari Dayeuh Kolot Bandung. Usia beliau sdh lebih dari 80 thn & juga dlm keadaan tdk sadarkan diri.

Tidak lama kemudian dlm keadaan tdk sadarkan diri, Ajengan Dahlan seperti mengigau; “Siapa yg harus saya ikuti.. Siapa yg harus saya ikuti?”

Tidak lama kemudian dalam keadaan tidak sadarkan diri, Ajengan Dahlan seperti mengigau, “Siapa yang harus saya ikuti?… Siapa yang harus saya ikuti?”

Lalu Ajengan Dahlan yg masih tdk sadarkan diri itu kembali terdiam.

Bersambung….

jangan tunda ibadahmu

Jangan Menunda Ibadahmu

“Allah membatasi waktu-waktu tertentu dalam ibadah, agar anda tidak terhalang oleh penundaan ibadah, dan Allah Swt juga meluaskan waktu ibadah, agar ada sesorang memiliki pilihan (mengerjakannnya).”

Diantara perilaku nafsu kita adalah menunda-nunda kebaikan, amaliyah, taat dan ibadah, sementara pada saat yang sama seseorang lebih senang berandai-andai dengan imajinasinya.

Allah Swt membuat batasan-batasan waktu dalam sholat lima waktu misalnya, agar kita tidak punya kesempatan pembiaran nafsu kita untuk menunda ibadah. Namun Allah Swt juga membuat keleluasan agar kita lebih ringan beribadah. Waktu-waktu sholat yang panjang seperti Isya’ waktunya sampai subuh, adalah cara Allah Swt menyayangi hamba-hambaNya, agar suasana ubudiyah-nya benar-benar nikmat nan indah.

Disebutkan, Allah Swt berfirman pada hambaNya, “Bukankah Aku telah mengeluarkan dirimu dari tiada menjadi ada? Lalu Aku limpahi berbagai anugerah dan kemurahan: Aku jadikan cahaya pada matamu agar kamu bisa menemukan bukti kekuasaanKu dan agungnya ayat-ayatKu. Dan Aku jadikan cahaya pada matahatimu agar kamu memahami tugas-tugas dariKu, lalu kamu bisa menjaga taat padaKu agar jauh  dari ancaman siksaKu, lalu kamu berharap pahalaKu, kemudian Aku janjikan pahala dibalik taat. Aku pun mengancammu jika kamu kontra denganKu. Lalu Aku beri tugas amal menurut kemampuanmu, Aku beri keleluasaan waktu-waktunya hal-hal yang mendesak. Seandainya kamu meng-qodho’ di akhir usiamu, hal-hal yang Aku wajibkan padamu sejak awal usiamu, tentu Aku pun menerimanya. Lalu apa yang menghalangimu untuk melaksanakan perintahKu? Dan tidak ada alasan uzur bagimu, kecuali tipudaya dan kesesatan.”

Rabi’ bin Haitsam suka mengang-ulang membaca ayat di bawah ini, lalu menangis tersedu-sedu: “Apakah orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan keburukan menyangka bahwa mereka akan Kami jadikan seperti orang-orang yang beriman dan beramal saleh…”

Dan ia berteriak kencang, “Aku tidak tahu wahai diriku, dimana posisimu dari dua golongan itu…!”

Ayat ini disebut sebagai “tempat tangisan pada ahli ibadah.”

Nafsu itu hanya mencari untung. Ia pun selau menanyakan apa untungnya beribadah. Karena itu nafsu harus ditekan dan dikendalikan, agar memilik kepatuhan. Nafsu ingin terus liar dan liberal. Karenanya, harus dididik dengan ketat, dan begitu nafsu mengalami ketentraman dirinya, akan berubah menjadi semangat kebajikan.

Betapa berharganya sang waktu yang diberikan oleh Allah Swt kepada kita. Setiap detik, waktu berlalu tanpa kembali, dan itu sering kita biarkan kosong dang nestapa. Waktu seperti pedang, jika tidak kita gunakan, ia akan memangkas kita setiap waktu.

Setiap waktu haruslah bersamaNya, karena Dia adalah sumber kebajikan nyata. Tanpa Dia Swt, kita akan terlempar oleh cepatnya waktu dalam lorong gelap nafsu kita.

– Syeikh Ibnu Ath-Thaillah As-Sakandari

(Sumber artikel : sufinews.com)

kepala ikan

Syaikh Kepala Ikan

Pada suatu masa, di sebuah pantai, tersebutlah seorang nelayan miskin yang juga guru sufi, tinggal sendiri dengan pekerjaan hariannya menjala ikan di laut. Hasil tangkapannya lalu ia jual di pelelangan, dan uangnya ia pakai untuk membangun zawiyah (padepokan) sederhana, sebagai majlis ta’lim tempatnya mengaji ilmu tasawuf.

Di kampung nelayan itu, ia memiliki banyak murid yang menghormatinya. Mereka tahu, bahwa gurunya ini setiap hari suka membuat sup kepala ikan, yang dibuatnya dari sisa-sisa ikan hasil tangkapannya yang tidak laku. Sehingga, kemudian orang-orang sekampung nelayan itu menjulukinya “Syaikh Kepala Ikan”.

Suatu hari, salah seorang muridnya yang pedagang keliling, datang menghadapnya untuk minta doa. Katanya, “Aku mau mencoba peruntungan dengan berjualan ke Kordoba.” Syaikh Kepala Ikan mendoakannya, lalu memberi pesan, bahwa di Kordoba ada gurunya yang terkenal sebagai Syaikhul-Akbar Ibnu ‘Arabi. Ia minta si pedagang mengunjunginya untuk menyampaikan salam, bahkan mohon nasihat dalam urusan pencapaian maqam spiritualnya – siapa tahu ada peningkatan batin, katanya.

Singkat cerita, tatkala si pedagang sampai ke tempat Syaikhul-Akbar Ibnu ‘Arabi, alangkah terkejutnya ia. Tempat Syaikhul-Akbar itu ternyata sebuah gedung yang layaknya istana, dengan sekelilingnya taman-taman indah, dan banyak pelayan pria-wanita muda yang hilir-mudik dengan kesibukan masing-masing.

Begitu diantar oleh salah satu pelayan, si pedagang menemui Syaikhul-Akbar di sebuah ruang tamu yang luas dan megah, dan didapatinya Syaikhul-Akbar berpakaian yang layaknya sultan. Ia merasa deg-degan, nyalinya mengkerut, dan matanya tertunduk karena tak berani beradu pandang dengan Syaikhul-Akbar.

Dengan terbata-bata, si pedagang menyampaikan salam dari guru sufinya, yang dikampung nelayan dikenal sebagai Syaikh Kepala Ikan. Juga, katanya, “Syaikh saya pun mohon nasihat, terutama dalam hal pencapaian maqam spiritualnya…” Syaikhul-Akbar menjawab lembut, “Katakan padanya, ia masih terlekat dunia.”

Si pedagang kaget, malah tersinggung mendengar nasihat dari orang yang penampilannya penuh kemewahan seperti itu. Tatkala bulan depannya si pedagang kembali ke kampung nelayan, segera ditemuinya guru sufinya, dan disampaikannya pesan balik dari Syaikhul-Akbar, dengan dibumbui kesan-kesannya yang ia anggap absurd.

Katanya, “Aneh sekali, bagaimana beliau mengatakan kalau Guru masih terlekat dunia, padahal beliau sendiri saya lihat dikelilingi belitan dunia?” Tapi, Syaikh Kepala Ikan tiba-tiba menangis lirih, lalu isaknya, “Kau belum tahu, bahwa seseorang bisa saja lahirnya mencapai kekayaan yang melimpah sebanyak yang dicapai oleh batinnya, tanpa kehilangan pandangan qalbu yang fokus kepada Allah. Sungguh, yang kau lihat pada Syaikhul-Akbar guruku itu hakikatnya bukan kekayaan material, tapi pencapaian spiritual yang sangat tinggi!”

Lalu ia tersengguk, dengan air mata yang deras, lirihnya, “Beliau benar, memang aku kalau malam menjelang sahur suka membuat sup kepala ikan, sambil kubayangkan kepala ikan itu seakan-akan ikan yang utuh, aku memang masih terlekat dunia…”

syaik nawawi

Siapakah Syaikh Nawawi Bantani?

Beliau adalah ulama besar abad ke-19 yang tinggal di Makkah, namun beliau asli Indonesia. Kata Al-Bantani merujuk kepada daerah asalnya, yaitu Banten. Tepatnya Kampung Tanara, Serang, Banten.

Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten. Beliau lahir tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi dan wafat di Makkah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi. Beliau menuntut ilmu ke Makkah sejak usia 15 tahun dan selanjutnya setelah menerima pelbagai ilmu di Mekah, beliau meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir.

Syaikh Nawawi al-Bantani kemudian mengajar di Masjidil Haram. Setiap kali beliau mengajar, dikelilingi oleh tidak kurang dua ratus orang. Ini menunjukkan bahwa keulamaan beliau diakui oleh para ulama di Makkah pada masa itu. Yang menarik, disebutkan bahwa saat mengajar di Masjid Al-Haram itu, beliau menggunakan dengan bahasa Jawa dan Sunda.

Karena sangat terkenalnya, bahkan beliau pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara tertentu.

Syaikh Nawawi termasuk ulama penulis yang produktif. Hari-harinya digunakan untuk menulis. Beberapa sumber menyebutkan Syaikh Nawawi menulis lebih dari 100 buku, 34 di antaranya masuk dalam Dictionary of Arabic Printed Books.

Dari sekian banyak bukunya, beberapa di antaranya antara lain: Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Zhulam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Shamad, al-Aqdhu Tsamin, Uqudul Lijain, Nihayatuz Zain, Mirqatus Su’udit Tashdiq, Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith, Nashaihul Ibad.

<

p style=”text-align: justify;”>Murid-Murid Syaikh Nawawi
Di antara yang pernah menjadi murid beliau adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) almarhum Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Juga Kyai Khalil Bangkalan Madura. Juga termasuk Kyai Machfudh dari Tremas, Jawa Timur.

Dari para kiyai itulah kemudian agama Islam disebarkan di seantero tanah Jawa, lewat berbagai pondok pesantren, madrasah, majelis ta’lim, pengajian dan tabligh akbar.

Mengatakan perayaan maulid sebagai perkara yang menyesatkan sama saja dengan menyebut Syaikh Nawawi Al-Bantani sebagai ulama penyesat. Padahal, kalaupun tak ada hadits mengenai ini, seperti dikatakan di atas bahwa tidaklah seseorang mendatangi perayaan maulid Nabi kecuali karena cinta kepada Nabi Saw. Sedangkan Nabi Saw bersabda, “Orang yang cinta padaku maka dia akan bersamaku di surga.” Dan hadits yang satu ini tak perlu kami sebutkan sanad dan rawinya. Juga telah dikenal luas bahwa nabi telah bersabda “Seseorang itu bersama yang dicintainya.”

manaqib cinta

Mencintai Tanpa Syarat

Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Mereka dikarunia 4 orang anak.

Disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak keempat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ketiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnya pun sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Setiap hari Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.

Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum. Untunglah tempat usaha Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang, sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa-apa saja yang dia alami seharian.

Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.

Rutinitas ini dilakukan Suyatno lebih kurang 25 tahun dengan sabar. Dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan keempat buah hati mereka. Sekarang anak-anak mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yang masih kuliah.

Pada suatu hari, keempat anak Suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing-masing dan Suyatno memutuskan untuk tetap merawat ibu mereka, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.

Dengan kalimat yang cukup hati-hati anak yang sulung berkata, “Pak kami ingin sekali merawat Ibu, semenjak kami kecil melihat Bapak merawat Ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir Bapak, bahkan Bapak tidak ijinkan kami menjaga Ibu,” dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-katanya. “Sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan Bapak menikah lagi, kami rasa Ibu pun akan mengijinkannya, kapan Bapak menikmati masa tua Bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat Bapak, kami janji kami akan merawat Ibu sebaik-baik secara bergantian.”

Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anak mereka. “Anak-anakku, jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk hawa nafsu, mungkin Bapak akan menikah, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian.”

Sejenak kerongkongannya tersekat. “Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini. Kalian menginginkan Bapak bahagia, apakah batin Bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan Bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit.”

Sejenak meledaklah tangis anak-anak Suyatno. Merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno. Dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.

Sampailah akhirnya Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi narasumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat istrinya yang sudah tidak bisa apa-apa. Di saat itulah meledak tangis beliau. Tamu yang hadir di studio yang kebanyakan kaum perempuan pun tidak sanggup menahan haru disitulah Suyatno bercerita.

“Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi, memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian, adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan batinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yang lucu-lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama… dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehat pun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit.”

Mampukah kita mencintai tanpa syarat?

 

(Sumber :  TQNNews.com)

manaqib.id

Air Surga

Haris seorang Badawi dan istrinya Nafisa hidup berpindah-pindah tempat membawa tendanya yang tua. Dicarinya tempat-tempat yang ditumbuhi beberapa kurma, rumputan untuk untanya, atau yang mengandung sumber air betapapun kotornya. Kehidupan semacam itu telah dijalani bertahun-tahun lamanya, dan Haris jarang sekali melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Ia biasa menjerat tikus untuk diambil kulitnya, dan memintal tali dari serat pohon kurma untuk di jual kepada kafilah yang lewat.

Namun, pada suatu hari sebuah sumber air muncul di padang pasir, dan Haris pun mencicipi air itu. Baginya air ituterasa bagaikan air surga, sebab jauh lebih bersih dari air yang biasa diminumnya. Bagi kita, air itu akan terasa memuakkan karena sangat asin. “Air ini,” katanya, “harus aku bawa keseseorang yang bisa menghargainya.”

Karena itulah ia berangkat ke Bagdad, ke Istana Harun al-Rasyid; ia pun berjalan tanpa berhenti kecuali kalau makan beberapa butir kurma. Haris membawa dua kantong kulit kambing penuh berisi air: satu untuk dirinya sendiri, yang lain untuk Sang Kalifah.

Beberapa hari kemudian, ia mencapai Bagdad, dan langsung menuju istana. Para penjaga istana mendengarkan kisahnya dan hanya karena begitulah aturan di istana mereka membawa Haris ke hadapan Raja.

“Pemimpin Kaum yang Setia,” kata Haris, “Hamba seorang Badawi miskin, dan mengetahui segala macam air di padang pasir, meskipun mungkin hanya mengetahui sedikit tentang hal-hal lain. Hamba baru saja menemukan Air Surga ini, dan menyadari bahwa ini merupakan hadiah yang sesuai untuk Tuan, hamba pun segera membawanya kemari sebagai persembahan.”

Harun Sang Terus terang mencicipi air itu dan karena ia sepenuhnya memahami rakyatnya, diperintahkannya para penjaga membawa pergi Haris dan mengurungnya di suatu tempat sampai ia mengambil keputusan. Kemudian dipanggilnya kepala penjaga, katanya, “Apa yang bagi kita sama sekali tak berguna, baginya berarti segala-galanya. Oleh karena itu bawalah ia pergi dari istana pada malam hari. Jangan sampai
ia melihat Sungai Tigris yang perkasa itu. Kawal orang itu sepanjang perjalanan menuju tendanya tanpa memberinya kesempatan mencicipi air segar. Kemudian berilah ia seribu mata uang emas dan terima kasihku untuk persembahannya itu. Katakan bahwa ia adalah penjaga air surga, dan bahwa atas namaku ia boleh membagikan air itu kepada kafilah yang lalu, tanpa pungutan apapun.

Catatan

Kisah ini juga dikenal sebagai “Kisah tentang Dua Dunia.” Kisah ini disampaikan oleh Abu al-Atahiya dan suku Aniza (sezaman dengan Harun al-Rasyid dan pendiri Darwis Mashkara (‘Suka Ria’) yang namanya diabadikan dalam istilah Mascara dalam bahasa-bahasa Barat. Pengikutnya tersebar sampai Spanyol, Perancis dan negen-negeri lain.

Al-Atahiya disebut sebagai “Bapak puisi suci Sastra Arab.” Ia meninggal tahun 828.

————————————————————
Dikutip dari K I S A H – K I S A H S U F I
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984.

kelahiran_nabi_muhammad-620x330

Akhlak Rasulullah yang Menyentuh Hati

Datang seorang miskin kepada Rasulullah saw dengan membawa hadiah ‘Semangkuk Buah Anggur’. Rasul pun menerima hadiah itu dan mulai memakannya.

Kebiasaan Rasulullah adalah selalu ‘Memberi Makanan’ kepada para sahabatnya jika ada yang memberi sedekah dan beliau sendiri tidak ikut makan.
Sementara jika ada yang ‘Memberi Hadiah’, Rasul juga membagi kepada para sahabatnya dan beliau pun ikut makan bersama.

Namun kali ini berbeda, Beliau memakan buah pertama lalu ‘Tersenyum’ kepada orang tersebut.

Beliau mengambil lagi buah kedua lalu Rasulullah ‘Tersenyum’ kembali.

Orang yang memberi anggur itu serasa terbang ‘Bahagia’ karena melihat Baginda Rasulullah menyukai hadiahnya.
Sementara para sahabat melihat Beliau dengan penuh rasa heran.
Tak biasanya Rasulullah menikmati makanan sendirian.

Satu per satu anggur itu diambil oleh Rasulullah dengan selalu ‘Tersenyum’, hingga semangkuk anggur itu habis tak tersisa.
Para sahabat semakin heran dan orang miskin itu pun pulang dengan ‘Hati Penuh Kebahagiaan’.

Lalu seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw,
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengajak kami ikut makan bersamamu seperti biasanya?”

Rasul pun tersenyum dan menjawab, “Kalian telah melihat bagaimana ‘Wajah Bahagia’ orang itu dengan memberiku semangkuk anggur.
Dan ketika aku memakan anggur itu, kutemukan ‘Rasanya Masam’.
Dan aku takut jika mengajak kalian untuk  ikut makan denganku, akan ada yang menunjukkan sesuatu yang tidak enak hingga ‘Merusak Kebahagiaan’ orang itu.”

Sungguh besar kepeduliaan Rasulullah saw dalam ‘Menjaga Perasaan’ orang lain.
Apalagi yang mampu kita ucapkan ketika melihat akhlak dan budi pekerti beliau, sungguh Benar Firman Allah swt yang berbunyi,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS.Al-Qalam : 4).