TQN1-1-670x440

TQN Bandung Barat Gelar Ataqoh Kubro, 500 Jamaah Baru Ikut Talqin Dzikir

Bandung – Dalam acara Ataqoh Kubro Jelang Ramadhan Sabtu (12/5) di Kabupaten Bandung Barat, Mudir Aam Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) KH. Wahfiudin Sakam menyampaikan talqin dzikir bagi sekitar 500 jamaah baru.

Menurut Ketua Yayasan Serba Bakti (YSB) Pontren Suryalaya Perwakilan Kab. Bandung Barat H. Supadi, acara yang digelar di Masjid Jami Baitul Amanah, Cikamuning Sadang, Ciburuy, Padalarang ini dimulai sekitar pukul 20.00 WIB.

Dalam sambutannya ia berterimakasih kepada Kyai Wahfiudin yang selalu membimbing ikhwan TQN di Bandung Barat. “Alhamdulillah setiap tahun beliau selalu mengunjungi kami untuk melakukan pembinaan,” ujarnya.

“Saat ini sudah ada sekitar dua belas ribu ikhwan TQN di Bandung Barat. Di setiap kecamatan ada majelis manaqib. Alhamdulillah jumlah ikhwan terus meningkat dari yang sebelumnya hanya dua ribu saat pengurus baru dilantik tahun 2014,” sambungnya.

Sebelum proses talqin, Kyai Wahfiudin menjelaskan pentingnya menata qalbu menuju Ilahi dengan dzikrullah. Ia menjelaskan dzikir mempunyai dua makna. Yang pertama adalah bermakna menyebut. “Bisa menyebut dzat, sifat, martabat maupun ayat. Yang namanya menyebut terdengar suara dan terlihat mulut mengucapkan. Inilah yang dikenal dengan dzikir jahri,” ujarnya.

“Sementara makna dzikir yang kedua adalah mengingat, mengenang, merasakan, menyadari. Inilah yang kita kenal dengan dzikir sirri,” lanjut ia menjelaskan.

Wakil Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat ini mengutip surat al-Mulk ayat 13 yang artinya, “Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”

Setelah selesai talqin dzikir, Haji Supadi berharap ikhwan yang lama dapat terus mendampingi yang baru agar istiqamah dalam mengamalkan. “Insya Allah jika istiqamah akan mudah membantu menyebarkan dakwah TQN minimal ke keluarga dan kerabatnya.”

Ketua perwakilan yang dilantik tahun 2014 ini mengucapkan apresiasinya kepada tim dakwah dan riyadhah YSB Perwakilan Bandung Barat, khususnya Ustadz Muhammad Syahrum yang berhasil menyelenggarakan kegiatan. “Banyak jamaah baru yang hadir dari Padalarang, Cipendeuy, Cikalong, Cililin, bahkan ada yang dari Kota Bandung,” tutupnya.

kepala ikan

Syaikh Kepala Ikan

Pada suatu masa, di sebuah pantai, tersebutlah seorang nelayan miskin yang juga guru sufi, tinggal sendiri dengan pekerjaan hariannya menjala ikan di laut. Hasil tangkapannya lalu ia jual di pelelangan, dan uangnya ia pakai untuk membangun zawiyah (padepokan) sederhana, sebagai majlis ta’lim tempatnya mengaji ilmu tasawuf.

Di kampung nelayan itu, ia memiliki banyak murid yang menghormatinya. Mereka tahu, bahwa gurunya ini setiap hari suka membuat sup kepala ikan, yang dibuatnya dari sisa-sisa ikan hasil tangkapannya yang tidak laku. Sehingga, kemudian orang-orang sekampung nelayan itu menjulukinya “Syaikh Kepala Ikan”.

Suatu hari, salah seorang muridnya yang pedagang keliling, datang menghadapnya untuk minta doa. Katanya, “Aku mau mencoba peruntungan dengan berjualan ke Kordoba.” Syaikh Kepala Ikan mendoakannya, lalu memberi pesan, bahwa di Kordoba ada gurunya yang terkenal sebagai Syaikhul-Akbar Ibnu ‘Arabi. Ia minta si pedagang mengunjunginya untuk menyampaikan salam, bahkan mohon nasihat dalam urusan pencapaian maqam spiritualnya – siapa tahu ada peningkatan batin, katanya.

Singkat cerita, tatkala si pedagang sampai ke tempat Syaikhul-Akbar Ibnu ‘Arabi, alangkah terkejutnya ia. Tempat Syaikhul-Akbar itu ternyata sebuah gedung yang layaknya istana, dengan sekelilingnya taman-taman indah, dan banyak pelayan pria-wanita muda yang hilir-mudik dengan kesibukan masing-masing.

Begitu diantar oleh salah satu pelayan, si pedagang menemui Syaikhul-Akbar di sebuah ruang tamu yang luas dan megah, dan didapatinya Syaikhul-Akbar berpakaian yang layaknya sultan. Ia merasa deg-degan, nyalinya mengkerut, dan matanya tertunduk karena tak berani beradu pandang dengan Syaikhul-Akbar.

Dengan terbata-bata, si pedagang menyampaikan salam dari guru sufinya, yang dikampung nelayan dikenal sebagai Syaikh Kepala Ikan. Juga, katanya, “Syaikh saya pun mohon nasihat, terutama dalam hal pencapaian maqam spiritualnya…” Syaikhul-Akbar menjawab lembut, “Katakan padanya, ia masih terlekat dunia.”

Si pedagang kaget, malah tersinggung mendengar nasihat dari orang yang penampilannya penuh kemewahan seperti itu. Tatkala bulan depannya si pedagang kembali ke kampung nelayan, segera ditemuinya guru sufinya, dan disampaikannya pesan balik dari Syaikhul-Akbar, dengan dibumbui kesan-kesannya yang ia anggap absurd.

Katanya, “Aneh sekali, bagaimana beliau mengatakan kalau Guru masih terlekat dunia, padahal beliau sendiri saya lihat dikelilingi belitan dunia?” Tapi, Syaikh Kepala Ikan tiba-tiba menangis lirih, lalu isaknya, “Kau belum tahu, bahwa seseorang bisa saja lahirnya mencapai kekayaan yang melimpah sebanyak yang dicapai oleh batinnya, tanpa kehilangan pandangan qalbu yang fokus kepada Allah. Sungguh, yang kau lihat pada Syaikhul-Akbar guruku itu hakikatnya bukan kekayaan material, tapi pencapaian spiritual yang sangat tinggi!”

Lalu ia tersengguk, dengan air mata yang deras, lirihnya, “Beliau benar, memang aku kalau malam menjelang sahur suka membuat sup kepala ikan, sambil kubayangkan kepala ikan itu seakan-akan ikan yang utuh, aku memang masih terlekat dunia…”

syaik nawawi

Siapakah Syaikh Nawawi Bantani?

Beliau adalah ulama besar abad ke-19 yang tinggal di Makkah, namun beliau asli Indonesia. Kata Al-Bantani merujuk kepada daerah asalnya, yaitu Banten. Tepatnya Kampung Tanara, Serang, Banten.

Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten. Beliau lahir tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi dan wafat di Makkah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi. Beliau menuntut ilmu ke Makkah sejak usia 15 tahun dan selanjutnya setelah menerima pelbagai ilmu di Mekah, beliau meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir.

Syaikh Nawawi al-Bantani kemudian mengajar di Masjidil Haram. Setiap kali beliau mengajar, dikelilingi oleh tidak kurang dua ratus orang. Ini menunjukkan bahwa keulamaan beliau diakui oleh para ulama di Makkah pada masa itu. Yang menarik, disebutkan bahwa saat mengajar di Masjid Al-Haram itu, beliau menggunakan dengan bahasa Jawa dan Sunda.

Karena sangat terkenalnya, bahkan beliau pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara tertentu.

Syaikh Nawawi termasuk ulama penulis yang produktif. Hari-harinya digunakan untuk menulis. Beberapa sumber menyebutkan Syaikh Nawawi menulis lebih dari 100 buku, 34 di antaranya masuk dalam Dictionary of Arabic Printed Books.

Dari sekian banyak bukunya, beberapa di antaranya antara lain: Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Zhulam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Shamad, al-Aqdhu Tsamin, Uqudul Lijain, Nihayatuz Zain, Mirqatus Su’udit Tashdiq, Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith, Nashaihul Ibad.

<

p style=”text-align: justify;”>Murid-Murid Syaikh Nawawi
Di antara yang pernah menjadi murid beliau adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) almarhum Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Juga Kyai Khalil Bangkalan Madura. Juga termasuk Kyai Machfudh dari Tremas, Jawa Timur.

Dari para kiyai itulah kemudian agama Islam disebarkan di seantero tanah Jawa, lewat berbagai pondok pesantren, madrasah, majelis ta’lim, pengajian dan tabligh akbar.

Mengatakan perayaan maulid sebagai perkara yang menyesatkan sama saja dengan menyebut Syaikh Nawawi Al-Bantani sebagai ulama penyesat. Padahal, kalaupun tak ada hadits mengenai ini, seperti dikatakan di atas bahwa tidaklah seseorang mendatangi perayaan maulid Nabi kecuali karena cinta kepada Nabi Saw. Sedangkan Nabi Saw bersabda, “Orang yang cinta padaku maka dia akan bersamaku di surga.” Dan hadits yang satu ini tak perlu kami sebutkan sanad dan rawinya. Juga telah dikenal luas bahwa nabi telah bersabda “Seseorang itu bersama yang dicintainya.”

Tentang Nisfu Syaban (4/4)

Ibadah sunah di malam nisfu sya’ban sering menjadi perdebatan, ada yang mengatakan bid’ah karena tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci. Namun mengapa para ulama-ulama thariqah tetap melakukan ibadah-ibadah sunah di malam tersebut, tentu mereka punya pandangan dan pemahaman yang lain. Yuk kita simak Ust. Abdul Latif yang mencoba menjelaskannya kali ini.

20180501_002641-670x377

Khalwat Angkatan V Resmi Ditutup

(Meneruskan artikel sebelumnnya : TQN Center Jakarta Gelar Khalwat 40 Hari )

Jakarta – Program khalwat 40 hari yang diadakan TQN Center Jakarta Selasa dinihari (1/5) resmi ditutup oleh Ketua Korwil DKI Jakarta KH. Wahfiudin Sakam. Acara penutupan diadakan selesai ibadah shalat nisfu sya’ban.

Sebelumnya selama dua hari, 18 peserta dari berbagai daerah dan luar negeri memaparkan rencana dakwah di wilayah masing-masing. Paparan dilakukan dihadapan ketua pelaksana Ustadz H. Andhika Darmawan dan Sekretaris Ustadz H. Handri Ramadian.

Dihadapan para peserta dan panitia, Kyai Wahfiudin mengingatkan inti dari bertarekat adalah terus melakukan perjalanan ruhani. “Kita adalah para pengembara, pengembara secara fisik maupun ruhani. Namun perjalanan ini bukanlah untuk memperturutkan al-hawa,” ujarnya.

“Maka itu kita harus menyiapkan diri agar diperjalankanNya. Persiapan yang paling utama adalah membersihkan qalbu,” lanjut Mudir Aam JATMAN.

H. Andhika menyampaikan program  khalwat 40 hari adalah upaya mencetak kader muballigh, muharrik & muaddib unggulan TQN Suryalaya. 

“Terimakasih atas kesungguhan peserta, kerjasama para panitia dan donatur serta ikhwan yang mendukung acara ini,” kata H. Handri menambahkan.

Di akhir sesi Kyai Wahfiudin menyematkan rompi kepada seluruh peserta khalwat angkatan ke-5, membagikan sertipikat dan hadiah sarung.

“Semoga sepulang dari khalwat kita semua semakin kuat dalam mendakwahkan tarekat untuk lingkungan,” tutupnya. (Idn)

(Sumber : TQNNews.com)

Tentang Nisfu Syaban (4/4)

Ibadah sunah di malam nisfu sya’ban sering menjadi perdebatan, ada yang mengatakan bid’ah karena tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci. Namun mengapa para ulama-ulama thariqah tetap melakukan ibadah-ibadah sunah di malam tersebut, tentu mereka punya pandangan dan pemahaman yang lain. Yuk kita simak Ust. Abdul Latif yang mencoba menjelaskannya kali ini.

manaqib.id

Air Surga

Haris seorang Badawi dan istrinya Nafisa hidup berpindah-pindah tempat membawa tendanya yang tua. Dicarinya tempat-tempat yang ditumbuhi beberapa kurma, rumputan untuk untanya, atau yang mengandung sumber air betapapun kotornya. Kehidupan semacam itu telah dijalani bertahun-tahun lamanya, dan Haris jarang sekali melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Ia biasa menjerat tikus untuk diambil kulitnya, dan memintal tali dari serat pohon kurma untuk di jual kepada kafilah yang lewat.

Namun, pada suatu hari sebuah sumber air muncul di padang pasir, dan Haris pun mencicipi air itu. Baginya air ituterasa bagaikan air surga, sebab jauh lebih bersih dari air yang biasa diminumnya. Bagi kita, air itu akan terasa memuakkan karena sangat asin. “Air ini,” katanya, “harus aku bawa keseseorang yang bisa menghargainya.”

Karena itulah ia berangkat ke Bagdad, ke Istana Harun al-Rasyid; ia pun berjalan tanpa berhenti kecuali kalau makan beberapa butir kurma. Haris membawa dua kantong kulit kambing penuh berisi air: satu untuk dirinya sendiri, yang lain untuk Sang Kalifah.

Beberapa hari kemudian, ia mencapai Bagdad, dan langsung menuju istana. Para penjaga istana mendengarkan kisahnya dan hanya karena begitulah aturan di istana mereka membawa Haris ke hadapan Raja.

“Pemimpin Kaum yang Setia,” kata Haris, “Hamba seorang Badawi miskin, dan mengetahui segala macam air di padang pasir, meskipun mungkin hanya mengetahui sedikit tentang hal-hal lain. Hamba baru saja menemukan Air Surga ini, dan menyadari bahwa ini merupakan hadiah yang sesuai untuk Tuan, hamba pun segera membawanya kemari sebagai persembahan.”

Harun Sang Terus terang mencicipi air itu dan karena ia sepenuhnya memahami rakyatnya, diperintahkannya para penjaga membawa pergi Haris dan mengurungnya di suatu tempat sampai ia mengambil keputusan. Kemudian dipanggilnya kepala penjaga, katanya, “Apa yang bagi kita sama sekali tak berguna, baginya berarti segala-galanya. Oleh karena itu bawalah ia pergi dari istana pada malam hari. Jangan sampai
ia melihat Sungai Tigris yang perkasa itu. Kawal orang itu sepanjang perjalanan menuju tendanya tanpa memberinya kesempatan mencicipi air segar. Kemudian berilah ia seribu mata uang emas dan terima kasihku untuk persembahannya itu. Katakan bahwa ia adalah penjaga air surga, dan bahwa atas namaku ia boleh membagikan air itu kepada kafilah yang lalu, tanpa pungutan apapun.

Catatan

Kisah ini juga dikenal sebagai “Kisah tentang Dua Dunia.” Kisah ini disampaikan oleh Abu al-Atahiya dan suku Aniza (sezaman dengan Harun al-Rasyid dan pendiri Darwis Mashkara (‘Suka Ria’) yang namanya diabadikan dalam istilah Mascara dalam bahasa-bahasa Barat. Pengikutnya tersebar sampai Spanyol, Perancis dan negen-negeri lain.

Al-Atahiya disebut sebagai “Bapak puisi suci Sastra Arab.” Ia meninggal tahun 828.

————————————————————
Dikutip dari K I S A H – K I S A H S U F I
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984.

kelahiran_nabi_muhammad-620x330

Akhlak Rasulullah yang Menyentuh Hati

Datang seorang miskin kepada Rasulullah saw dengan membawa hadiah ‘Semangkuk Buah Anggur’. Rasul pun menerima hadiah itu dan mulai memakannya.

Kebiasaan Rasulullah adalah selalu ‘Memberi Makanan’ kepada para sahabatnya jika ada yang memberi sedekah dan beliau sendiri tidak ikut makan.
Sementara jika ada yang ‘Memberi Hadiah’, Rasul juga membagi kepada para sahabatnya dan beliau pun ikut makan bersama.

Namun kali ini berbeda, Beliau memakan buah pertama lalu ‘Tersenyum’ kepada orang tersebut.

Beliau mengambil lagi buah kedua lalu Rasulullah ‘Tersenyum’ kembali.

Orang yang memberi anggur itu serasa terbang ‘Bahagia’ karena melihat Baginda Rasulullah menyukai hadiahnya.
Sementara para sahabat melihat Beliau dengan penuh rasa heran.
Tak biasanya Rasulullah menikmati makanan sendirian.

Satu per satu anggur itu diambil oleh Rasulullah dengan selalu ‘Tersenyum’, hingga semangkuk anggur itu habis tak tersisa.
Para sahabat semakin heran dan orang miskin itu pun pulang dengan ‘Hati Penuh Kebahagiaan’.

Lalu seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw,
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengajak kami ikut makan bersamamu seperti biasanya?”

Rasul pun tersenyum dan menjawab, “Kalian telah melihat bagaimana ‘Wajah Bahagia’ orang itu dengan memberiku semangkuk anggur.
Dan ketika aku memakan anggur itu, kutemukan ‘Rasanya Masam’.
Dan aku takut jika mengajak kalian untuk  ikut makan denganku, akan ada yang menunjukkan sesuatu yang tidak enak hingga ‘Merusak Kebahagiaan’ orang itu.”

Sungguh besar kepeduliaan Rasulullah saw dalam ‘Menjaga Perasaan’ orang lain.
Apalagi yang mampu kita ucapkan ketika melihat akhlak dan budi pekerti beliau, sungguh Benar Firman Allah swt yang berbunyi,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS.Al-Qalam : 4).

Tentang Nisfu Syaban (3/4)

Ibadah sunah di malam nisfu sya’ban sering menjadi perdebatan, ada yang mengatakan bid’ah karena tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci. Namun mengapa para ulama-ulama thariqah tetap melakukan ibadah-ibadah sunah di malam tersebut, tentu mereka punya pandangan dan pemahaman yang lain. Yuk kita simak Ust. Abdul Latif yang mencoba menjelaskannya kali ini.

(Sumber TQNNews.com)

Tentang Nisfu Syaban (2/4)

Ibadah sunah di malam nisfu sya’ban sering menjadi perdebatan, ada yang mengatakan bid’ah karena tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci. Namun mengapa para ulama-ulama thariqah tetap melakukan ibadah-ibadah sunah di malam tersebut, tentu mereka punya pandangan dan pemahaman yang lain. Yuk kita simak Ust. Abdul Latif yang mencoba menjelaskannya kali ini.

(Sumber : TQNNews.com)