307136-7

Sejarah Tentang Tasawuf (2/2)

Sampai di sini jelas, bahwa ajaran tasawuf lahir dari rahim sejarah dan laku kehidupan Nabi dan para sahabat. Tasawuf bukan sesuatu yang baru dalam agama, bukan pula diadopsi dari tradisi agama lain, seperti yang dituduhkan sebagian orang baik para orientalis maupun ilmuan muslim sendiri.

Mereka berusaha mencampuradukkan makna, maksud dan sumber tasawuf. Mereka mengaitkan tasawuf dengan unsur di luar Islam. Mereka menghubungkan tasawuf dengan spiritualisme Budha, kerahiban Kristen, atau keresian Hindu. Selanjutnya, merekapun membuat julukan-julukan baru yang tak berdasar seperti tasawuf Budha, tasawuf Hindu, tasawuf Kristen, tasawuf Persia dan lain sebagainya.

Tujuan mereka tidak lain adalah mencemarkan nama dan mengaburkan sumber ajaran tasawuf. Namun demikian, seorang mu’min yang teliti dan tulus dalam menerima kebenaran akan menolak tuduhan-tuduhan itu, dan menetapkan bahwa tidak ada tasawuf selain tasawuf Islam.

Disarikan dari kitab Haqaiq ‘an at-Tashawwuf karya Syaikh Abd al-Qadir Isa, Bab pertama At-Ta’rif bi at-Tashawwuf.


[1] Selengkapnya bisa dilihat di Ahmad Always, at-Tashawwuf min al-Wijhah at-Tarikhiyyah, dalam Majalah al-‘Asyirah al-Muhammadiyyah, Edisi Muharram, 1376 H.
[2] Aburrahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Mesir: Penerbit al-Bahiah.
[3] Ini seperti yang dikutip oleh Haji Khalifah, Kasyf azh-Zhunnun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun, vol. 1, hlm. 414


(Mengutip artikel : TQNNews.com)

berguru

Sejarah Tentang Tasawuf (1/2)

Sejarah Tasawuf

Perkembangan dakwah tasawuf dimulai setelah berakhir masa sahabat dan tabi’in. Pada masa mereka, dakwah ini belum dikenal karena memang belum dipandang perlu. Sebab merekalah orang-orang yang ahli takwa, ahli wara dan ahli ibadah pada zamannya. Secara fitrah dan sudah kehendak Allah, mereka terpanggil untuk bersikap seperti itu. Mereka mengenal dekat Nabi Muhammad SAW. Mereka selalu bersemangat meniru perilaku beliau di segala aspeknya baik lahir maupun batin.

Jadi, meski dakwah tasawuf pada masa itu tidak dikenal, karena memang belum menjadi nama suatu ilmu tersendiri, mereka sejatinya telah mengerjakan praktik-praktik tasawuf itu sendiri. Para sahabat tidak membutuhkan alat/perangkat khusus untuk menyerap aspek batin ajaran Nabi, karena mereka dapat meminumnya langsung dari sumbernya. Tasawuf masih merupakan realitas tanpa nama. Meski demikian, ia adalah satu sisi dari bangunan keberagamaan Nabi dan para sahabatnya.

Meskipun para sahabat dan tabi’in tidak menggunakan kata tasawuf, tapi pada parkteknya mereka adalah para sufi. Mereka adalah para praktisi tasawuf sesungguhnya. Yang dimaksud tasawuf tiada lain adalah, bahwa seseorang hidup hanya untuk Tuhannya, bukan untuk dirinya. Dia menghiasi dirinya dengan zuhud, tekun beribadah, berkomunikasi dengan Allah dengan ruh dan jiwanya di setiap waktu, dan berusaha mencapai berbagai kesempurnaan. Dia meraih apa yang telah diraih para sahabat dan tabiin, yakni tingkat spiritualitas tertinggi.

Para sahabat tidak hanya mengikrarkan iman dan menjalankan kewajiban-kewajiban. Mereka juga menyinari ikrarnya itu dengan perasaan, menambah kewajiban-kewajibannya dengan amal-amal sunnah, menjauhkan diri dari yang haram bahkan dari yang makruh. Sehingga mata hati mereka pun bersinar terang, percik-percik hikmah terpancar dari nurani mereka, dan rahasia-rahasia ilahiah berlimpah dalam jiwa mereka. Begitu halnya para tâbi’în dan tâbi at-tâbi’în (pengikut tâbi’în). Ketiga generasi itu adalah generasi emas dan sebaik-baik masa dalam peradaban Islam. Nabi bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasi ini, kemudian generasi setelahnya dan generasi yang setelahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di satu sisi, perluasan wilayah Islam dan persinggungannya dengan budaya dan ilmu pengetahuan negeri-negeri lain membawa dampak yang positif bagi umat Islam sendiri. Pada masa ini, perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam sangat pesat. Mereka mulai mengkodifikasi ilmu-ilmu pengetahuan. Lahirlah cabang-cabang ilmu seperti Nahwu, Fikih, Tauhid, Hadits, Ushul Fiqh, Tafsir, Faraid dan lain sebagainya.

Di sisi yang lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi membawa dampak negatif. Pada masa ini justru spiritualitas/semangat ruhaniah Islam sedikit demi sedikit melemah. Umat Islam semakin menjauh dari agama, menjauh dari Allah SWT. Sedikit-demi sedikit ketaatan-ketaatan ritual kian dilalaikan. Badan, pikiran dan hati umat semakin larut dalam kesibukan mengurus kekayaan, barang-dagangan, kekuasaan, teknologi, pengetahuan dan hasrat-hasrat duniawi lainnya.


Baca juga : Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa , Restu dari Orangtua adalah awal tarekat


Fenomena ini membuat sedih para ahli zuhud yang sadar akan keadaan umat tersebut. Mereka akhirnya mulai membangun ilmu tasawuf. Jadi, kemunculan ilmu tasawuf bukan reaksi atas kemunculan ilmu-ilmu yang lain seperti disebut di atas. Tetapi ia muncul untuk mengokohkan kembali apa yang mulai rapuh dari kehidupan kaum muslimin, yaitu ruh agama. [1]

Ilmu tasawuf adalah buah karya para ulama terpercaya. Ia dilandasi oleh wahyu langit. Ia adalah perwujudan dari ihsan yang merupakan satu dari tiga elemen dasar agama, yaitu islam, iman dan ihsan (lihat artikel ‘Apa Itu Tasawuf?’).

Islam adalah kepatuhan dan ibadah. Iman adalah cahaya dan akidah. Sedangkan Ihsan adalah murāqabah (keintiman) dan musyāhadah (penyaksian). Sabda Nabi: “Ihsan adalah bahwa engkau mengabdikan diri kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Sekiranya engkau tidak (mampu) melihat-Nya, maka (yakinlah) Allah melihatmu.” (HR. Muslim)

Maka, siapapun yang kehilangan salah satu dari tiga pilar itu, keberagamaannya belum sempurna. Jadi, sasaran yang dibidik ilmu tasawuf adalah maqam ihsan, setelah seseorang memperbaiki islam dan imannya.

Dalam kitab Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun berkata, “Tasawuf adalah salah satu di antara ilmu-ilmu baru dalam Islam. Asal mulanya ialah amal perbuatan generasi salaf dari para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Fondasi tasawuf ialah tekun beribadah, memutus semua jalan kecuali jalan menuju Allah, berpaling dari kemegahan dan kemewahan dunia, melepaskan diri dari sesuatu yang diinginkan oleh kebanyakan manusia seperti buaian harta dan pangkat, serta mengasingkan diri dari makhluk dan berkhalwat untuk beribadah. Ini semua adalah kebiasaan yang dilakukan para sahabat dan para ulama salaf. Kemudian, pada abad kedua dan seterusnya manusia mulai jatuh dan terlena dengan kesibukan duniawi. Nama sufi pun muncul untuk menjuluki orang-orang yang tekun beribadah.” [2]

Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah bahwa kaum muslimin hingga sepeninggalan Rasulullah menyebut orang-orang yang paling utama di antara mereka dengan nama ‘sahabat’, tidak dengan selainnya. Sebab ketika itu tidak ada julukan yang lebih mulia selain nama ‘sahabat’. Setelah era sahabat, umat berselisih. Tingkatan ketakwaan mereka pun semakin beragam. Orang yang tekun menjalankan aturan agama disebut zahid (ahli zuhud) atau ‘abid (ahli ibadah). Kemudian muncullah berbagai bid’ah, dan setiap kelompok mengklaim bahwa di dalam kelompoknya ada orang-orang yang zuhud. Setelah itu, istilah tasawuf mulai digunakan oleh para ahli zuhud dari kalangan Ahli Sunnah, yang senantiasa memupuk hubungan dekat dengan Allah dan menjaga hati dari kelalaian. Istilah ini telah populer di kalangan mereka sebelum abad kedua hijriah.” [3]

Klik disini untuk selanjutnya—>

Petani dengan seekor kuda

Ada Allah Yang Mengatur Segalanya

Di suatu tempat, seorang petani memiliki kuda yang sangat bagus. Seorang hartawan sangat ingin membeli kuda itu. Harganya tak tanggung-tanggung, 50 ribu dirham. Akan tetapi, sang petani dengan sopan menolak karena dia pun menyukai kuda tersebut.

Banyak orang menyesali sang petani yang tak menukar kudanya dengan uang sebegitu besar. Tak dinyana, tak diduga, suatu hari hilanglah kuda si petani. Maka, orang pun mulai menyalahkannya.

“Mau dibeli sebegitu mahal tak boleh, sekarang kuda pun raib. Rugi besar dia.”

Mendengar itu, sang petani berkata, “Yang aku tahu kudaku hilang, tetapi aku tak tahu apakah aku menjadi rugi karenanya.” Dia memilih bersabar.

Kenyataannya, beberapa hari kemudian kuda itu kembali, sambil membawa bersamanya puluhan kuda liar yang bagus-bagus. Sang petani bersyukur. Namun, sekali lagi cobaan menimpanya. Karena sesuatu hal, suatu hari kuda tersebut mengamuk dan menendang kaki anaknya yang belia, sehingga kaki sang anak cacat. Sekali lagi orang-orang menyalahkan si petani. “Coba saja kuda itu dijual, kau akan dapat uang banyak, dan anakmu tak akan cacat.”

Lagi-lagi si petani menjawab, “Ya, anakku memang cacat, tetapi aku tak tahu apakah itu merugikanku.” Sekali lagi si petani memilih bersabar.

Tak lama setelah itu, datanglah serombongan tentara suruhan raja untuk merekrut anak-anak muda menjadi tentara yang akan dikirim ke medan perang melawan musuh. Anak si petani tak jadi direkrut karena kakinya cacat. Terbukti belakangan, banyak anak muda yang dikirim ke medan perang menjadi korban jiwa. Maka, sekali lagi, si petani pun bersyukur.


Baca juga : Restu Orang Tua Adalah Awal Tarekat , Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa


Apa yang dapat kita petik dari kisah petani dan kudanya diatas? Ternyata, begitu mudahnya Allah SWT melukiskan orang sabar itu yaitu orang-orang yang digambarkan dalam firman-Nya dalam Al Qur’an :

surat al baqarah 155-156

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali,”
(QS Al-Baqarah : 155-156)

Setiap musibah, cobaan dan ujian itu tidaklah berarti apa-apa karena kita semua adalah milik Allah karena kita berasal dari-Nya, dan baik suka-maupun duka, diuji atau tidak, kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ujian apapun itu datangnya dari Allah, dan hasil ujian itu akan kembali kepada Allah.

Maka seperti yang diteladankan oleh sang petani miskin, yang senantiasa bertawaqal dan menyerahkan semua urusannya kepada Allah SWT, maka Allahpun menganugerahinya akhir yang menyenangkan.

Restu Ibu

Restu Dari Orangtua adalah Awal Tarekat

Abu Yazid al-Bistami adalah seorang sufi besar yang lahir di Bistham, Persia (Iran). Wafat pada 261 H/874 M dan dimakamkan di sana. Nama kecilnya adalah Taifur.

Oleh ibunya, Taifur disekolahkan. Di sekolah, dia belajar al-Quran. Suatu hari, pelajaran sampai pada penjelasan makna surat Luqman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Kepada-Kulah kalian akan kembali”, (QS Luqman: 14).

Hati Taifur bergetar mendengar ayat ini.

“Guru”, tanyanya sambil meletakkan buku catatannya, “Izinkan aku pulang dan mengatakan sesuatu pada ibuku”. Gurunya mengizinkan. Taifur pun bergegas pulang.

“Ada apa Taifur?” tanya ibunya heran, “mengapa kamu pulang? Apakah mereka memberimu hadiah, atau ada acara khusus?”

“Tidak Ibu”, jawab Abu Yazid kecil, “Tadi pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkanku untuk mengabdi kepada Dia dan kepada Ibu. Aku tidak bisa menjadi pembantu di dua rumah sekaligus. Ibu, ayat ini membuatku gelisah. Hanya ada dua pilihan: Ibu memintaku dari Allah agar aku dapat menjadi milik ibu sepenuhnya, atau Ibu menyerahkanku kepada Allah agar aku bisa tinggal sepenuhnya bersama-Nya.”

“Anakku. Aku serahkan dirimu kepada Allah dan membebaskanmu dari segala kewajiban kepadaku,” jawab ibunya tegar. “Pergilah dan jadilah milik Allah!”

“Tugas itu aku pikir adalah tugas yang terbelakang, namun akhirnya terbukti bahwa itu adalah tugas yang terdepan,” kenang Abu Yazid. “Yaitu membahagiakan ibuku. Dalam membahagiakan ibuku, aku justru memperoleh semua yang aku cari dalam banyak latihan kedisiplinan dan ibadahku.”

Abu Yazid kemudian berkisah: Suatu malam, ibuku memintaku mengambilkan air minum. Aku bergegas mengambilkannya, namun tak ada air di teko. Aku pun mengambil kendi, dalam kendi pun tak ada air. Lalu aku pun pergi ke sungai dan mengisi kendi itu. Saat aku sampai di rumah, ibuku sudah tidur.

Malam itu udara sangat dingin. Aku memegang teko itu dengan tanganku. Ketika ibuku bangun, beliau pun minum lalu mendoakanku. Ketika beliau mengetahui tanganku menggigil memegang teko itu, dia bertanya.

“Mengapa tak kau letakkan saja teko itu?”

“Aku takut, saat ibu bangun aku tidak ada di samping ibu,” jawabku.

“Biarkan pintu itu terbuka separuh,” pinta ibuku.

Aku pun berjaga sepanjang malam untuk memastikan pintu kamar ibuku tetap terbuka separuh. Aku tidak boleh mengabaikan perintahnya. Saat fajar, apa yang selama ini aku cari-cari itu pun masuk melalu pintu itu.


Baca juga : Kesabaran Ulama Yang Menakjubkan || Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa


Hikmah
Kisah awal perjalanan ruhani Abu Yazid al-Bistami ini mengajarkan, jalan ruhani (tarekat) itu harus dimulai dari rumah kita sendiri, yakni restu kedua orangtua khususnya Ibu. Tarekat itu adalah jalan mencari ridha Allah, sementara ridha Allah itu, seperti dinesehatkan junjungan Nabi SAW, terletak pada ridha kedua orangtua. Tarekat itu adalah jalan untuk meraih cinta Allah, sementara Allah sangat mencintai hamba yang berbakti kepada ibu-bapaknya.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Aku bertanya kepada Nabi SAW, ‘manakah amalan yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘shalat tepat waktu’, Lalu apa lagi? Beliau menjawab, ‘berbakti kepada orangtua.’ Aku bertanya, lalu apa lagi? Beliau menjawab, ‘’berjihad di jalan Allah’.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).

Tareket adalah jalan mencari keselamatan di akherat, sementara surga-neraka itu berada dalam genggaman ibu-bapak.

“Seseorang bertanya kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak kedua orangtua terhadap anaknya?’ Beliau menjawab, ‘Keduanya adalah surgamu dan nerakamu’”. (HR. Ibnu Majah)

Allah swt berfirman, “Allah telah menetapkan agar kalian tidak mengabdi kecuali kepada-Nya, dan berbaktilah kepada kedua orangtua.” (QS Al-Israa: 23).

Tarekat adalah jalan menapaki tasawuf. Sementara inti tasawuf adalah tauhid dan akhlak. Syaikh Abdul Qadir al Jailani berpetuah, tasawuf adalah kokohnya keyakinan kepada Allah dan kemuliaan akhlak kepada sesama mahluk. Bertarekat adalah menumbuhkan benih tauhid dalam dada, sekaligus memperindah akhlak kepada sesama mahluk Allah. Dan mahluk terdepan yang harus dipergauli dengan akhlak terbaik, selain Nabi SAW, adalah ibu dan bapak kita.

Unta

Kesabaran Ulama yang Menakjubkan (2/2)

Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis, ia berkata, “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun, dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku, sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja, dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”

Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya.

Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut, aku tak tahu harus memulai dari arah mana.

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak Tua.

Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu, maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai atau sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.

Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong, rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung.

Aku lebih sedih memikirkan nasib pak Tua dari pada nasib si bocah.

Aku pun turun dari bukit dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam.

Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian? Ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?

Aku berjalan menujuk kemah pak Tua, aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?

Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam, maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya. ia mendahuluiku dengan bertanya, “Di mana si bocah?”

Namun kataku, “Jawablah terlebih dahulu, siapakah yang lebih dicintai Allah, Engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”

“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah”, jawabnya.

“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali. “Tentu Ayyub…” jawabnya.


Baca juga : Ivan Agueli Sang Pelopor Tasawuf di Eropa , Berbuat Kebaikan Dengan Menjadi Kontributor


“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung, ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.

Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya, namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya, hingga akhirnya ia meninggal dunia.

Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya, lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya.

Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka, nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku.

Kukatakan, “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya, maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”

“Iya…” jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya, namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak,“Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”

Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh.

Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah.

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah, ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna, ia berjalan-jalan di tanah yang hijau, maka aku bertanya kepadanya, “Hai Abu Qilabah, apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Maka jawabnya, “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah dan dikatakan kepadaku di dalamnya: Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu, maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali.”

Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian. Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.

kamp

Kesabaran Ulama Yang Menakjubkan (1/2)

Abu Ibrahim bercerita: Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas, kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:

“Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.”

Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh, ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi, kedua tangannya buntung, matanya buta, dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya.

Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang mengurusinya, atau isteri yang menemaninya? Ternyata tak ada seorang pun.

Aku beranjak mendekatinya dan ia merasakan kehadiranku, ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”

“Assalaamu’alaikum, aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini”, jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku. “Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu dan kerabatmu?” lanjutku.

“Aku seorang yang sakit, semua orang meninggalkanku dan kebanyakan keluargaku telah meninggal”, jawabnya.

“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: ‘Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…!!’ Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya dan sebatang kara?”ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu, tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu”, kataku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia, bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir?”

“Betul”, jawabku. Lalu dia berkata: “Berapa banyak orang yang gila?”

“Banyak juga”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia”, jawabnya.


Baca juga : Sekretariat Pontren Suryalaya Rilis Pelaksanaan Shalat Sunat Rajab 1439 H


“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, jawabnya.

“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar?” katanya.

“Banyak juga…” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.

“Wah, banyak itu”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya, mengharap pahala dari-Nya dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. Lalu katanya, “Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”

“Banyak sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, katanya.

Pak Tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah.

Betapa banyak pesakitan selain beliau, yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau, mereka ada yang lumpuh, ada yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan organ tubuhnya, tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh dan menangis sejadi-jadinya, mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar.

Aku pun menyelami fikiranku makin jauh, hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak Tua mengatakan, “Hmm… bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang, maukah kamu mengabulkannya?”

“Iya, apa permintaanmu?” kataku.

(Klik disini Untuk Kisah Selanjutnya)

ivan

Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa

Jika bertanya siapa yang pertama kali mengenalkan tasawuf di tanah Eropa? Ivan Agueli-lah jawabannya. Cendekiawan Muslim asal Swedia ini dikenal amat ahli dalam metafisika sufi dan mengenalkannya ke benua biru.

Ia dikenal dengan nama ‘Abd al-Hadi Aqhili. Agueli lahir pada 24 Mei 1869 di Sala, Västmanland, Swedia. Nama kecilnya John Gustaf Agelii, putra dari seorang dokter hewan Johan Gabriel Agelii.

Sejak muda, Agueli menunjukkan bakat seni yang luar biasa dan minat dalam sufistik agama. Pada 1879, ia belajar ke Gotland dan Stockholm.

Nama Ivan Agueli baru disematkannya pada 1889 ketika belajar melukis aliran simbolis dari pelukis Émile Bernard di Paris.

Bukan Agueli kalau tak menjadi musafir. Ia pun pindah lagi ke Stockholm pada 1890 kemudian kembali ke Paris pada 1892.

Jalan menuju Islam dimulai pada 1895 ketika ia pergi ke Mesir. Di sanalah ia memeluk Islam dan amat tertarik dengan agama ini.

Di negeri piramida pula, Agueli lahir menjadi sosok baru, cendekiawan Muslim. Pada 1902, ia menjadi mahasiswa Universitas al-Azhar di Kairo. Di sana Agueli belajar filsafat Arab dan Islam.

Ia juga mempelajari tarikat sufi pada seorang ulama mesir bernama ‘Abd al-Rahman al-Kabir Ilaysh. Agueli sempat menjadi penulis sebuah majalah Italia yang terbit di Kairo bernama an-Nadi.

Sebagai sufi, Agueli terkenal sebagai inisiator René Guénon dalam tasawuf dan expositor Barat awal tentang metafisika yang dibawa Ibn Arabi. Ia memang sangat mengagumi Ibn Arabi.

Sebagai pelukis sekaligus penulis, cendekiawan Muslim ini dikenal eksentrik. Banyak karya lukisan Agueli yang terkenal. Ilmu tasawuf yang ia kuasai rupanya ditumpahkan dalam kanvas.

Reputasi Agueli sebagai pelukis sangat ternama di Swedia. Ia dikenal sangat kreatif dan gemar melakukan perjalanan.

Dalam tulis-menulis, Agueli berkontribusi dalam buku World Wisdom serta menulis artikel Universality in Islam dalam kumpulan karya Universal Dimensions of Islam.

Dalam artikel tersebut, Agueli menggambarkan sifat universalisme Islam yang selalu mengajarkan kebijaksanaan.


(Baca juga : TQN Center Gelar Khalwat 40 Hari , Berbuat Kebaikan Dengan Menjadi Kontributor)


Hingga kini, Agueli sering kali menjadi objek penelitian tentang perbandingan agama. Bahkan, pada Februari 2011, artikelnya Universality in Islam dikaji dalam studi perbandingan agama yang kemudian diterbitkan kembali dalam bahasa Inggris dalam edisi Dimensi Universal Islam yang ditulis oleh Farid Nuruddin.

Dalam aliran sufi, Agueli dianggap mengarah pada tradisi Malamatiyyah. Tradisi tersebut mengajarkan seseorang untuk merasa hina agar dapat meredam amarah.

Dalam praktiknya, Malamatiyah banyak yang terjerumus negatif hingga terlalu ekstrem. Namun, Agueli menerapkannya dengan taraf biasa yang lumrah.

Dia juga memiliki minat pada ajaran esoteris. Yakni, hanya dimengerti beberapa orang tertentu. Esoteris mengacu pada batin, hakikat, dan substansi.

Dalam ajaran sufi, Islam Esoteris bermakna ajaran agama yang menekankan aspek batin sebagai inti beragama. Aspek batin bertujuan pencapaian hidup selamat dan sejahtera dengan mendekatkan diri kepada Allah.

Ajaran esotris ini tidak mempermasalahkan simbol agama lain dan tidak memperdebatkan syariat sebagai tujuan. Namun, tidak pula menganggap enteng syariat.

pondok-pesantren-suryalaya-1-670x400

Sekretariat Pontren Suryalaya Rilis Pelaksanaan Shalat Sunat Rajab 1439 H

Jakarta – Guru Mursyid Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah PP Suryalaya, KH. Ahmad Shahibul Wafa Tajul Arifin (qs) pada tanggal 1 Juni 1982 menandatangani maklumat No: 88.PPS.XI.1995  tentang ibadah shalat sunat Rajab. Pelaksanaan ibadah ini merujuk pada kitab al-Ghunyah Li Thalibi Thariqi al-Haq karya Tuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (qs).

Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Sekretariat PP Suryalaya Februari, shalat sunat Rajab tahun 1439 H / 2018 M, Insya Allah akan dilaksanakan pada,

  1. Malam tanggal 1 Rajab (Ahad malam tanggal 18 Maret),
  2. Malam Jum’at pertama bulan Rajab (Kamis malam tanggal 22 Maret),
  3. Malam tanggal 15 Rajab (Ahad malam tanggal 1 April), dan
  4. Malam terakhir bulan Rajab (Ahad malam tanggal 15 April)

Dalam rilis yang redaksi terima dijelaskan tata cara; niat, bacaan dan jumlah rakaat serta dan doa-doa yang disarankan. Bacaan tasbih 10 hari pertama adalah Subhanallahil Hayyul Qayyum, sedangkan pada 10 hari yang kedua (11-20 Rajab) adalah Subhanallahil Ahadush Shamad dan Subhanallahir Rauuf pada 10 terakhir (21-akhir Rajab).

Untuk lebih lengkapnya KLIK link Dibawah ini :

Jadwal Pelaksanaan Shalat Sunat Rajab 1439 H

khalwat-325x325

TQN Center Jakarta Gelar Khalwat 40 Hari

Jakarta – TQN Center Jakarta tahun ini kembali menyelenggarakan program khalwat 40 hari. Program rutin setiap dua tahun ini rencananya akan dimulai pada Rabu, (21/03) sampai dengan Senin (30/04) dan dihelat di Masjid al-Mubarak, Rawamangun, Jakarta Timur.

Ketua pelaksana Ust. H. Andhika Darmawan menyampaikan program  khalwat 40 hari adalah upaya mencetak kader muballigh, muharrik & muaddib unggulan TQN Suryalaya. “Kami mengundang para ikhwan TQN Suryalaya dari berbagai daerah untuk datang ke Jakarta mengikuti khalwat, terbatas untuk 25 peserta,” ujarnya.

Ia selanjutnya memaparkan syarat mengikuti program khawat. “Peserta adalah muballigh atau aktifis dakwah, laki-laki berusia tujuh belas hingga lima puluh lima tahun, dalam kondisi sehat, lancar membaca al-quran dan memiliki surat rekomendasi dari korwil atau perwakilan,” pungkas Ketua Bidang Amaliyah YSB Suryalaya Korwil DKI Jakarta.

Sementara itu sekretaris pelaksana, Ust. H. Handri Ramadian menjelaskan selama 40 hari latihan yang dilakukan adalah; puasa, dzikir, shalat, baca al-quran, mengurangi tidur serta mengikuti pelatihan peningkatan kompetensi diri. “Insya Allah pelatihan peningkatan kompetensi akan diisi oleh berbagai narasumber yang berkompeten,” ujarnya saat rapat persiapan.

Program khalwat mendapatkan respon yang positif dari berbagai pihak. Salah satunya dari Drs. Asep Haerul Gani, psikolog yang mendalami dzikir tarekat. “Program khalwat telah terbukti membuat pesertanya berubah,” ujar ia mengomentari.

(baca juga : Kursus Pendalaman Tasawuf di TQN CenterMenjadi Kontributor Manaqib)

“Saya sangat merasakan sekali manfaat khalwat empat puluh hari ini. Silahkan teman-teman yang ingin merasakannya juga,” ujar Syarifuddin Manaf, alumni khalwat angkatan ke-4

Berdasarkan rilis yang redaksi terima, hingga hari ini sudah terdaftar 20 peserta dari berbagai daerah, antara lain; Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, bahkan ada yang dari Malaysia. Sementara, kepanitian melibatkan alumni khalwat yang telah mencapai 4 angkatan.

Program ini memerlukan kesiapan yang matang baik dari panitia maupun peserta. Empat puluh hari adalah waktu yang cukup panjang melakukan riyadhah secara terstruktur. Jumlah peserta dibatasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi di TQN Center Jakarta.

Di akhir rapat persiapan, Ust. H. Andhika mengajak rekan-rekan yang belum berkesempatan ikut program khalwat, untuk berpartisipasi menyukseskan kegiatan ini. Bisa dengan pikiran, tenaga, materi bahkan doa. “Semoga ini menjadi khidmat kita kepada Hadhratus Syaikh Pangersa Abah untuk memunculkan kader-kader muballigh, muharrik dan mu’addib yang unggul,” pungkasnya.

Anda berminat? Silahkan hubungi 0821-4884-6881.

image-1

Kursus Pendalaman Tasawuf di TQN Center

Jakarta – Kursus Pendalaman Tasawuf (KUPAT) kembali diselenggarakan oleh Yayasan Serba Bakti (YSB) Pontren Suryalaya Korwil DKI Jakarta, kerap disebut TQN Center Jakarta.

Sebanyak 23 peserta alumnus Kursus Tasawuf (KT) dari berbagai angkatan, mengikuti kegiatan yang digelar selama dua hari, mulai Sabtu ini (03/03) sampai dengan Ahad (04/03).

Dalam KUPAT Angkatan VI ini, para peserta diperkaya wawasan ilmiah ketasawufannya dengan beragam materi kajian yang menarik, argumentatif dan aplikatif.

(Baca juga : Menjadi Kontributor ManaqibBersyukur Memiliki Guru Mursyid)

“Mereka juga akan banyak mempraktekkan amaliah Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Suryalaya di bawah bimbingan Mursyid Kamil Mukammil, Syekh Ahmad Shahibul Wafa Tajul ‘Arifin r.a. atau yang populer dikenal sebagai Abah Anom,” ujar Sekretaris Korwil DKI Jakarta, Ust. H. Handri Ramadian.

Peserta dibimbing narasumber yang berpengalaman, selain oleh sekretaris korwil juga oleh Ust. H. Andhika Darmawan, Ust. H. Asep Saeful Bahri, Ust. Nursidin dan Ust. Solehudin Simamora.

H. Handri berharap kegiatan ini dapat menambah kader-kader TQN Suryalaya yang Tangguh, Modern dan Bermartabat, dilengkapi dengan ilmu amaliah dan amal ilmiah.