sabar

Sabar Itu Tak Ada Batasnya

Sebelumnya sudah dikisahkan, Abu Yazid al-Bisthami adalah orang shalih yang hidup pada abad 9 M. Lahir di Bistham, Persia. Kakek Abu Yazid adalah seorang penganut Zoroaster yang kemudian masuk Islam.

Pada masanya, Syaikh Yazid adalah salah seorang guru zaman. Beliau hidup sezaman dengan dua figur besar lainnya, yaitu Syaikh Junaid al-Baghdadi di Baghdad Irak dan Syaikh Dzun Nun al-Misri di Mesir. Dalam tradisi sufisme/tasawuf, Syaikh Yazid adalah tokoh yang memperkenalkan ajaran fana/annihilation, yakni semacam kondisi kejiwaan pada diri seorang sufi, ketika berbagai jenis dan level kesombongan telah hilang, hingga dia merasa bahwa diri/ke-aku-annya telah musnah, dan yang ada hanyalah ‘Aku’, Allah SWT. Capaian ini tentu diperoleh dari latihan ruhani yang panjang dan sangat berat.

Dikisahkan, Syaikh Yazid sering berziarah kubur. Suatu malam, Beliau tengah berjalan pulang dari sebuah area pemakaman. Seorang pemuda bangsawan mendekatinya sambil bermain kecapi.

“Ya Allah, selamatkan kami,” ucap Syaikh Yazid.

Mendengar itu, pemuda tadi mengangkat kecapinya dan melemparkannya ke kepala Syaikh Yazid. Darah mengucur dari kepala beliau, sementara kecapinya pun patah. Pemuda itu tengah mabuk sehingga tidak menyadari siapa yang dipukulnya.

Syaikh Yazid kembali ke pondokannya dan menunggu hingga pagi. Beliau kemudian memanggil salah seorang muridnya dan bertanya, “Berapa harga sebuah kecapi?”

Sang murid memberitahunya. Lalu beliau membungkus uang seharga kecapi itu dengan sehelai kain, ditambah dengan sedikit makanan. Lalu beliau mengutus muridnya untuk memberikannya kepada pemuda itu.

“Katakan pada pemuda itu,” Beliau berpesan, “Abu Yazid meminta maaf. Katakan kepadanya, tadi malam engkau memukul kepala Abu Yazid dan kecapimu patah. Dia meminta engkau menerima uang ini sebagai ganti rugi dan belilah kecapi baru. Dan manisan ini untuk menghibur hatimu yang sedih akibat kecapimu rusak.”

Saat pemuda itu menyadari apa yang telah dilakukannya, ia pun pergi mendatangi Syaikh Yazid dan meminta maaf. Ia bertaubat, dan banyak pemuda lain juga ikut bertaubat dengannya.

(Baca juga : Sang Pemilik Qalbu)

manaqib.id

Sang Pemilik Qalbu

Ada seorang lelaki di Gunung Guci, Tegal, Jawa Tengah bernama Dakot. Namanya tersohor di tempat itu. Jika kita pergi ke Gunung Guci saat ini, tanyalah nama Dakot, Insya Allah semua orang kenal dia. Dakot dulunya telah khatam melakukan molimo (lima dosa). Dia berkata bahwa air minumnya adalah minuman keras.

Ia dulu bekerja di bagian restribusi wisata pemandian air panas Gunung Guci. Uang habis di meja judi, berantem adalah hobi dan pekerjaannya sehari-hari. Mencicipi wanita yang bagaimanapun dia sudah pernah. Intinya semua kemaksiatan seakan-akan sudah pernah ia lakukan. Suatu saat ia datang ke Pondok Pesantren Suryalaya karena diakali temannya, Selamet Anshori yang mengatakan kepadanya bahwa ada seorang dukun sakti di Suryalaya yang dapat memberikan ilmu kanuragan kepada Dakot.

Dakot yang gemar dengan ilmu-ilmu seperti itu sangat senang mendengarnya. Ia lalu menerima tawaran Selamet Anshori.

Ketika sampai di Pondok Pesantren Suryalaya pun, di mobil, Dakot masih membawa satu kerat minuman keras padahal mau bertemu dengan Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin QS (Abah Anom). Dakot yang masih teler berat tadinya tidak mau masuk bertemu Abah Anom, namun akhirnya bersama lima orang temannya, ia masuk ke rumah Abah Anom. Di dalam rumah tersebut, Abah Anom memberikan pembelajaran (talqin) dzikir.

Awalnya, Dakot menunjukan penolakan untuk ditalqin. Namun setelah tangan Abah Anom dengan lembut memegang kepala Dakot untuk nunduk, Dakot menurut dan proses talqin dzikirpun terjadi. Proses talqin dzikir ini menembus qalbu Dakot. Dakot juga dido’akan. Terjadilah perubahan yang dahsyat dalam diri Dakot.

Dakot bertobat, ia kemudian dikenal sebagai orang yang tekun beribadah dan membenci maksiat. Ia menjadi tokoh di tempatnya dam gemar mengajak masyarakatnya beribadah, berdzikir dan berbuat baik.

Ada beberapa hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Dakot ini jika dikaitkan dengan profesi guru yang harinya diperingati setiap tanggal 25 November. Hikmah dan pelajaran yang sekaligus bahan introspeksi bagi para guru, yaitu Abah Anom adalah guru. Bahkan memiliki lembaga pendidikan. Walau pekerjaannya sama dengan guru-guru lainnya, yaitu mengajarkan ilmu dengan penguasaan yang baik terhadap prinsip-prinsip didaktik metodik, tetapi Pangersa Abah lebih dari itu. Bagi Abah Anom, murid tidak hanya pintar dalam penguasaan pelajaran umum dan agama yang literlek. Murid harus diberikan pembelajaran (talqin) dzikir yang dapat menembus ke dalam qalbu dan dapat membersihkan qalbu. Qalbu yang bersih atau suci dapat tersambung dengan Allah SWT Yang Maha Suci dan Maha Mensucikan. Jika qalbu mereka bersih, maka perilaku mereka pun menjadi bersih dan baik.

Bukankah tujuan pendidikan nasional tidak sekedar mencerdaskan kehidupan bangsa yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani saja, tetapi juga mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, sehat ruhani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan?

Selain itu, murid juga harus dido’akan. Di dalam Islam, do’a memiliki kedudukan yang penting. Ada beberapa hadits yang menunjukan hal itu.

Sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia dihadapan Allah, selain daripada do’a.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

“Siapa saja yang tidak mau memohon (sesuatu) kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).

“Mintalah kepada Allah akan kemurahan-Nya, karena sesungguhnya Allah senang bila dimintai (sesuatu).” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Majah).

“Sesungguhnya do’a itu dapat member manfaat (bagi pelakunya) untuk sesuatu yang telah terjadi. Maka wahai hamba Allah, lakukanlah do’a itu.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar).

“Tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini yang berdo’a kepada Allah, kecuali akan dikabulkan do’anya atau dijauhkan suatu keburukan atau musibah yang serupa.” (HR. Tirmidzi dan Hakim dari Ubadah Ibn Shamit).

sepatu kayu

Ketika Seorang Anak Kecil, Memberi Nasihat


Suatu hari, Numan bin Tsabit atau yang biasa kita kenal dengan Abu Hanifah, atau Imam Hanafi, berpapasan dengan anak kecil yang berjalan mengenakan sepatu kayu.

Sang Imam berkata, “Hati-hati Nak dengan sepatu kayumu itu. Jangan sampai kau tergelincir.”

Bocah ini pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas perhatian Abu Hanifah.

“Bolehkah saya tahu nama anda, Tuan?” tanya si bocah.

“Numan namaku,” jawab sang imam.

“Jadi, Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar al-Imam al-A’dhom (Imam Agung) itu?” tanya si bocah

“Bukan aku yang memberi gelar itu,” jawab Sang Imam. “Masyarakatlah yang berprasangka baik dan memberi gelar itu kepadaku.”

“Wahai Imam, hati-hati dengan gelar anda. Jangan sampai Tuan tergelincir ke neraka karena gelar,” nasehat si bocah.

“Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelar anda itu dapat menjerumuskan anda ke dalam api yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya.”

Ulama besar itu pun tersungkur menangis. Beliau bersyukur. Siapa sangka, peringatan datang dari lidah seorang bocah.

Maka berwaspadalah. Jangan kita jadikan gelar di dunia sebagai alasan untuk sombong. Lihat apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang berbicara.

doa

Ingat, Jangan Lupa Diri

Bisyr al-Harits lahir di sekitar kota Merv pada 767 Masehi. Merv adalah kota tua di wilayah Turkmenistan, Asia Tengah. Kemudian beliau tinggal di Baghdad. Beliau adalah seorang syaikh terkenal pada zamannya. Setelah bertaubat dari kehidupannya yang glamor, Bisyr muda berguru pada Syaikh Fudail bin ‘Iyadh.

Tentang ketawadhuan beliau, seorang sahabatnya bercerita; Saat itu aku sedang bersama Bisyr al-Harits. Cuaca sangat dingin. Aku mendapatinya tidak mengenakan baju dan sedang mengigil kedinginan.

Aku berkata kepadanya, “Abu Hashr, di cuaca sangat dingin begini orang-orang biasanya mengenakan pakaian serba tebal. Engkau malah melepaskan bajumu.”

Beliau menjawab, “Ya. Aku jadi teringat pada orang-orang miskin. Aku tidak punya uang untuk membantu mereka, maka aku ingin sekali berbagi rasa dengan mereka.”

Hikmah

Kisah ini mengandung nasehat, bahwa kita harus peduli pada orang lain, terutama pada mereka yang kondisinya di bawah kita. Paling tidak, apa yang kita katakan dan lakukan tidak boleh merugikan orang lain. Begitu halnya dengan sikap kita, jangan sampai tanpa disadari ternyata menyinggung orang lain.

Untuk orang yang berhati-hati seperti ini, Rasulullah SAW memuji: Rasulullah SAW berdiri di hadapan beberapa orang, lalu bersabda, “Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik dan seburuk-buruk orang dari kalian?” Mereka terdiam, dan Nabi bertanya seperti itu tiga kali. Lalu ada seorang yang berkata, “Iya, kami mau wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami sebaik-baik dan buruk-buruk kami.” Beliau bersabda, “sebaik-sebaik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan keburukannya terjaga…” (HR. At-Tirmidzi).

Lebih baik lagi jika selalu sadar agar setiap kata yang terucap, sikap yang terungkap dan perbuatan yang dilakukan, bermanfaat bagi orang lain. Sekalipun itu tak ada untungnya atau bahkan merugikan kita sendiri. Sikap inilah yang dicontohkan oleh para rasul Allah dan auliya (kekasih-Nya) yang seumur hidupnya berjuang membimbing manusia di jalan-Nya. Untuk yang memiliki kepribadian seperti ini, Rasulullah saw memuji, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat bagi orang lain”. (HR. Ahmad, Thabrani).

Ketika kita tak mampu memberi manfaat atau bantuan lebih bagi orang-orang di sekitar, paling tidak kita harus menunjukkan empati/kepekaan terhadap mereka. Di depan mereka yang miskin harta, jangan tunjukkan kemewahan yang kita miliki. Di hadapan orang sakit, jangan tunjukkan kesenangan dan kebanggaan diri. Bersama orang-orang awam, jangan banyak berbicara perkataan yang ‘melangit’, dan seterusnya. Kecuali ada maksud positif untuk memberikan motivasi atau bimbingan tertentu.


Baca juga : Terkabulnya Do’a Si Pembuat RotiAyo Menjadi Kontributor di Manaqib.id


Jika tidak demikian, tanpa disadari kita akan mudah menyinggung perasaan orang lain. Bahkan, jika sering atau berlebihan, orang itu mungkin akan merasa terzalimi sedangkan kita tak menyadarinya. Kita sendiri yang akan dirugikan. Rasulullah SAW mengingatkan, “Takutlah engkau pada do’anya orang yang terzalimi. Sebab antara dia dan Allah tak ada hijab”. (HR. Ahmad dan Bukhari).

Keunggulan duniawi memang sering membuat kita sombong. Saat kita kaya, akan mudah merendahkan yang miskin. Dengan kepintaran kita, akan mudah meremehkan yang bodoh. Dengan kecantikan kita, akan mudah merendahkan yang penampilannya biasa. Bahkan, keunggulan relijius dan spiritual pun tak jarang membuat seseorang mudah meremehkan yang ibadahnya kurang taat dan pengalaman spiritualnya lebih sedikit.

Rasulullah SAW bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia”. (HR. Muslim).

Untuk itu, seperti dicontohkan Syaikh Bisyr pada kisah di atas, hendaknya kita gemar menyejajarkan diri dengan orang-orang yang lebih rendah keadaannya, baik dalam hal duniawi maupun ruhani, meskipun kenyataannya kita lebih tinggi. Kita mau bergaul dengan mereka sebagaimana kita bergaul dengan orang-orang yang sederajat atau yang lebih tinggi.

Syaikh Abdullah Murabok (1836-1956), seorang ulama sufi dari Tasikmalaya, dalam Tanbih-nya berwasiat, “Terhadap orang-orang di bawah kita, janganlah menghina atau berbuat semena-mena, tak mau menghargai. Sebaliknya, bergaullah dengan mereka dengan kasih-sayang dan penuh kerelaan, terhadap fakir-miskin harus berkasih-sayang, berbudi bersih, serta bermurah tangan. Tunjukkanlah bahwa hati kita peduli.”

Ini mungkin berat, tetapi sangat dianjurkan, sebagai terapi ruhani untuk merontokkan atau menghindarkan diri dari virus kesombongan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku hendaknya kalian merendahkan hati sehingga tak seorang pun menyombongkan diri dan berbuat semena-mena atas yang lain.” (HR. Muslim).

Sombong bermula dari lupa diri. Kita merasa, semua keunggulan duniawi, relijius atau spiritual itu adalah prestasi kita, milik kita yang diperoleh karena kehebatan kita. Kita lupa bahwa itu semua adalah pemberian dari Allah. Kita lupa semua itu dianugerahkan Allah bukan untuk dimiliki, dibanggakan apalagi disombongkan. Sebaliknya, setiap keunggulan itu menjadi ujian bagi kita. Allah SWT mengingatkan, “Dan Dialah yang menjadikan kalian para penguasa di bumi. Dia meninggikan sebagian dari kalian beberapa derajat, untuk menguji kalian atas apa yang Dia anugerahkan pada kalian”. (QS Al-An’am: 165).

Kita justru akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap nikmat yang diperoleh, apalagi jika nikmat tersebut berlebih di atas orang lain. “Kemudian, sungguh kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas semua nikmat itu”. (QS At-Takatsur: 8).


Baca juga : Mati itu kepastian, Husnul Khatimah itu Pilihan Terbaik, Ayo Menjadi Kontributor di Manaqib.id


Semua datang dari Allah. Apa yang kita miliki dari Allah. Diri kita pun ciptaan Allah. Semua diatur dan digerakkan oleh Allah. Pada masanya masing-masing, seluruhnya akan kembali kepada-Nya. Tak terkecuali diri kita dan apa yang selama ini kita miliki.

Saat maut menjemput, tak satu pun ikut. Semua kesenangan yang kita buru seumur hidup akan sirna. Semua yang kita banggakan, pangkat, jabatan, kekayaan, ilmu, kecantikan tak akan berarti apa-apa. Tubuh pun akan kita campakkan.

Dilihat dari kapan kita akan mati, dan bagaimana kondisi kita saat dimatikan, kita semua sama. Semua menjadi rahasia dan kehendak Allah. Lalu apa yang dibanggakan? Apa pula alasan tetap merasa diri lebih baik dari pada yang lain?

Bekal terbaik menjalani hidup bukan segala kemewahan dunia itu, tetapi takwa. Jika hidup dijalani dengan takwa, ini menjadi bekal menjemput kematian. “Berbekallah. Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai para pemilik qalbu”. (QS Al-Baqarah: 197).

Takwa tak ada hubungannya dengan tampilan luar seseorang. Ia bisa dimiliki siapapun yang beriman kepada Allah. Miskin, kaya, pintar, bodoh, ulama, awam, semua memiliki kesempatan yang sama untuk takwa. Ini menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Allah. Inilah yang menentukan kualitas hidup seseorang di dunia. Ini pula yang menentukan kebahagiaannya kelak di kubur dan akherat.

Maka, belajarlah untuk menghargai orang lain, dan peduli pada kondisi mereka, apalagi yang lebih rendah dari kita. Barangkali di antara mereka ada yang bertakwa dan dikasihi Allah. Jika kita memperlakukannya dengan santun, kita akan memperoleh limpahan doanya. Karena Allah akan mengabulkan doa setiap hamba yang dikasihi-Nya. Sebaliknya, jika kita menzaliminya, Allah-lah yang akan membalaskannya pada kita.

Allah SWT berfirman, Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaKu, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya”. (HR Bukhari).

Barangkali juga, orang yang kita anggap biasa ternyata mulia di sisi Allah. Sementara kita, yang dianggap mulia oleh banyak orang, karena ibadah, penampilan, ilmu atau harta kita, ternyata tidak demikian di mata Allah. Kita harus pandai menempatkan diri. Kita ini diciptakan sebagai hamba. Maka jangan pernah menjadi tuan bagi hamba Allah yang lain.

IMG_20180322_094233

Terkabulnya Do’a Si Pembuat Roti Karena Selalu Beristighfar

Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal yang tinggal di Baghdad ingin melakukan perjalanan ke Basrah tanpa ada keperluan apapun. Tidak seperti biasanya, keinginannya itu begitu kuat.

Pada malam hari sampailah Imam Ahmad di sebuah kampung di kota Basrah. Ia kemudian singgah di sebuah masjid untuk melakukan shalat sekaligus niat bermalam di sana. Se usai shalat, ia hendak merebahkan tubuhnya yang sudah renta guna melepaskan sedikit kepenatan malam itu. Tiba-tiba sang penjaga masjid datang dan melarang ulama pendiri mazhab Hanbali ini tidur di dalamnya.

Imam Ahmad langsung keluar dan berpindah ke teras masjid dengan niat beristirahat di luar masjid. Namun sang penjaga tetap saja mengusir beliau secara kasar, bahkan sampai menarik beliau ke jalanan. Rupanya sang penjaga tidak mengetahui bahwa yang diusir adalah seorang ulama besar. Sementara Imam Ahmad juga tidak ingin memperkenalkan dirinya. Akhirnya Imam Ahmad keluar dari area masjid tanpa tahu harus ke mana.

Saat kebingungan itu lewatlah seorang penjual roti yang melihat kejadian itu. Orang itu tertarik untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada orang tua sampai diusir oleh penjaga masjid. Imam Ahmad menceritakan kepada tukang roti itu sehingga ia menjadi iba. Si tukang roti kemudian mengajak Imam Ahmad menginap di rumahnya.


Baca juga : Ini Dia, Rahasia Anak Shalih , Berbuat Kebaikan, Menjadi Kontributor Di Manaqib.id


Di rumah pembuat roti itu, Imam Ahmad dijamu dengan baik layaknya seorang tamu. Entah karena ingin menyembunyikan identitas atau karena tidak ditanya oleh tuan rumah, ia tidak mengenalkan dirinya sebagai Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ulama besar yang namanya begitu terkenal.

Setelah beberapa saat bercengkerama, si tuan rumah mempersilakan Imam Ahmad beristirahat, sementara ia sendiri menyiapkan adonan roti untuk ia jual esok hari. Sebelum tidur Imam Ahmad melihat sesuatu yang menarik dari pembuat roti ini. Selama bekerja ia selalu melantunkan istighfar (astaghfirullah: aku mohon maaf kepada Allah Ta’ala) sampai pekerjaannya selesai.

Keesokan harinya, Imam Ahmad yang penasaran kemudian bertanya kepada si pembuat roti, “Semalam terdengar olehku lantunan istghfar yang terus menerus engkau baca ketika engkau sedang membuat adonan roti. Katakanlah kepadaku wahai tuan, apakah engkau mendapat sesuatu dari bacaan istighfar yang engkau baca?”

Hal ini sengaja ditanyakan oleh Imam Ahmad karena sebagai seorang ulama yang sangat tinggi ilmu agamanya tentu beliau tahu persis tentang keutamaan istighfar, serta faidah-faidah bagi yang sungguh-sungguh mengamalkannya.

Si pembuat roti lalu menjawab, “Ya. Begitulah adanya. Sungguh saya benar-benar telah mendapatkan faidah dari keutamaan melazimkan istighfar. Demi Allah, sejak saya melazimkan istighfar, saya tidak memohon sesuatu kepada Allah kecuali pasti dikabulkan. Doa saya selalu diijabah oleh-Nya. Hanya ada satu doa saya yang belum terkabul sampai saat ini.”

Imam Ahmad bertanya, “Apa itu?”

Si pembuat roti berkata, “Permohonan untuk dapat bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal!”

Mendengar hal tersebut, tersenyumlah Imam Ahmad. Nampaknya beliau sudah mengerti hikmah kejadian diusirnya beliau dari sebuah masjid kemarin malam. Allah Ta’ala berkehendak mengabulkan doa si pembuat roti dengan perantara peristiwa tersebut.

Lalu Imam Ahmad berkata, “Wahai Tuan, Sayalah Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, Allah-lah yang mengaturku sehingga bisa bertemu denganmu.”

doa1

Ini dia, Rahasia Anak Shalih

Rabi’ah Al-Adawiyah adalah legenda perempuan shalihah dari generasi awal kaum Sufi. Konon, ketinggian maqam spiritualnya melampaui gurunya Hasan al-Basri. Hidup sekitar abad kedua hijriah, Rabi’ah tidak menikah. Dalam hatinya tiada sisa tempat bagi cinta kepada selain Allah.

Pada malam ketika Rabi’ah dilahirkan, tak ada apa-apa di rumahnya. Orangtuanya hidup sangat miskin. Bahkan keluarga itu tidak memiliki setetes minyak pun untuk mengolesi pusar Rabi’ah. Tak ada lampu. Juga tak ada sehelai kain pun untuk membungkus bayi yang baru lahir itu.

Keluarga itu telah memiliki tiga anak perempuan dan Rabi’ah adalah yang keempat. Ini mengapa ia diberi nama Rabi’ah (yang keempat).

“Pergilah ke tetangga. Mintalah setetes minyak agar aku bisa menyalakan lampu,” pinta sang istri.

Namun, lelaki itu telah bersumpah tidak akan pernah meminta apapun dari manusia. Maka ia pun pergi dan hanya menyandarkan tangannya di pintu rumah tetangganya, lalu kembali.

“Mereka tak membukakan pintu,” lapor lelaki itu pada istrinya.

Perempuan malang itu menangis pilu. Dalam kondisi yang serba membingungkan itu, lelaki itu duduk menyandarkan kepalanya di atas lutut dan tertidur.

Dalam tidurnya, dia bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW. “Jangan bersedih,” hibur Nabi. “Anakmu yang baru saja lahir itu adalah seorang ratu bagi kaum perempuan. Dia kelak akan menjadi pemberi syafaat bagi 70 ribu umatku di Hari Kiamat,” lanjut Nabi. “Pergilah kepada Isa al-Zadan, Gubernur Basrah. Tulislah pada selembar kertas kalimat ini: ‘Setiap malam engkau bershalawat kepadaku 100 kali dan 400 kali pada Jum’at malam. Kemarin malam adalah Jum’at malam dan kau melupakanku. Sebagai tebusannya, berikan pada lelaki ini empat ratus dinar dari hartamu yang halal.”

Ketika bangun, ayah Rabi’ah bercucuran air mata. Dia pun bangkit dan menuliskan kalimat dari Nabi itu. Kemudian ia mengirimkan pesan itu kepada Gubernur melalui seorang pengawal Gubernur.

“Bagikan dua ribu dinar kepada fakir-miskin,” perintah Gubernur setelah membaca pesan itu, “sebagai ungkapan syukurku karena Nabi telah mengingatku. Dan berikan empat ratus dinar kepada bapak tua itu, dan katakan kepadanya, ‘Aku berharap Anda berkenan datang agar aku bisa menemui Anda. Namun aku rasa tidak sepantasnya orang seperti Anda datang menemuiku. Lebih pantas aku yang datang mengunjungi Anda dan menempelkan janggutku di ambang pintu rumah Anda. Bagaimanapun, aku mohon demi Allah, apapun yang sedang Anda butuhkan, katakan saja.”

Ayah Rabi’ah pun menerima uang emas itu dan membeli semua kebutuhannya.


Baca juga : Ada Allah yang Mengatur Segalanya


Hikmah
Kisah ini memberikan pelajaran, bahwa seorang anak shalih lahir dari rahim orangtua yang shalih. Saat masih di alam ruh, manusia itu masih suci. Cahaya imannya bersinar terang. Kesuciannya itu akan tetap terjaga atau tidak tergantung pada bagaimana kedua orangtuanya menyambut kelahiran dan membesarkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap manusia dilahirkan dalam fitrah (kemurnian). Kedua orangtuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.” (HR. Muttafaqun ‘alaîh).

Ibu-bapak sejatinya adalah sepasang manusia yang Allah tugaskan untuk menyambut kedatangan ruh-ruh manusia dari alam ruh ke alam dunia. Keduanya juga ditugaskan untuk merawat kesucian ruh-ruh manusia yang kelak berstatus anak-anaknya itu.

Seorang pelaut memerlukan kendaraan kapal untuk mengarungi samudera. Ruh memerlukan tubuh untuk berlayar di alam dunia. Keselamatan si pelaut pertama-tama ditentukan oleh kualitas kapal yang hendak digunakannya. Begitu juga ruh, kesuciannya dapat terjaga atau tidak tergantung pada kualitas jasad yang ditempatinya. Maka yang pertama harus dipersiapkan oleh ibu-bapak adalah tubuh yang baik bagi ruh anaknya.

Untuk mendapatkan keturunan yang sholeh, Imam Syafi’i dalam satu nasehatnya, ada tiga hal yang harus diperhatikan orangtua:

Pertama, makanan/minuman halal (az-zâd al-halâl). Setelah dimasukkan ke dalam jasad, kondisi ruh menjadi terikat dengan jasad tersebut. Jasad yang terbentuk dari saripati makanan/minuman yang halal dapat menjaga kesucian ruh yang menempatinya. Maksud halal di sini, makanan/minuman itu sendiri terbuat dari bahan-bahan yang halal, dan makanan/minuman tersebut diperoleh dengan jalan yang halal pula. Sebaliknya, jasad yang terbentuk dari makanan/minuman yang tak jelas halal-haramnya (syubhat), apalagi yang jelas keharamannya, dapat mengotori kesucian ruh. Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai Sa’ad, perbaikilah (murnikanlah) makananmu, niscaya kau menjadi orang yang terkabul do’anya. Demi yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, sesungguhnya seorang hamba melontarkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama empat puluh hari. Siapapun yang dagingnya tumbuh dari yang haram maka api neraka lebih layak membakarnya.” (HR. Ath-Thabrani).


Baca juga : Sejarah Tentang Tasawuf


Setelah dikonsumsi, makanan/minuman haram akan menjadi awan hitam yang menutupi cahaya ruh. Kisah di atas menggambarkan kehati-hatian seorang ayah menafkahi putrinya yang baru lahir. Bahkan ia tidak mau sembarangan menerima apalagi meminta sesuatu dari orang lain. Akhirnya Allah langsung yang memenuhi kebutuhannya lewat tangan Gubernur Basrah.

Kedua, do’a orangtua. Orangtua adalah termasuk yang do’anya mustajab. Oleh karenanya, harus sering berdo’a untuk anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda:

“Ada tiga do’a yang tidak tertolak yaitu do’a orang tua, do’a orang yang berpuasa dan do’a seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi).

Namun, tidak hanya anak, orangtua pun tubuhnya harus dijaga dari asupan makanan/minuman yang tidak halal, karena makanan/minuman yang haram menjadi sebab tertolaknya do’a. Rasulullah SAW bersabda:

“Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima do’a itu?” (HR Muslim)

Ketiga, kebersihan qalbu kedua orangtua (shofa al-qalbi). Tenggelam dalam kesibukan dunia, asupan makanan/minuman yang bermacam-macam serta berbagai kesenangan duniawi sering kali membuat diri seseorang kotor oleh penyakit-penyakit ruhani seperti dengki, hasut, sombong, cinta dunia (hubb ad-dunya) dan lain-lain. Semuanya ini adalah penyebab kotornya ruh sehingga kelak di Akhirat harus dibersihkan dahulu di neraka. Kisah di atas menggambarkan, bagaimana keteguhan seorang ayah membentengi qalbunya dari ketergantungan pada selain Allah. Keyakinannya kepada Allah begitu kokoh sehingga Allah menganugerahinya mimpi bertemu Nabi SAW, mencukupi kebutuhannya dan menjadikan putrinya sebagai kekasih-Nya (waliyullah).

Ketiga hal ini terkait satu sama lain. Intinya adalah siapapun yang mendambakan keturunan yang shaleh/hah, harus membersihkan dirinya lahir maupun batin. Secara lahir, badannya dibersihkan dari asupan makanan/minuman yang haram dan syubhat. Secara batin, ruhnya dibersihkan dari berbagai penyakit ruhani seperti dengki, hasut, sombong, cinta dunia, malas ibadah dan lain-lain. Dengan sendirinya, dia akan menjadi suka mendekatkan diri kepada Allah swt, karena cahaya ruhnya kembali bersinar terang. Allah pun akan mendekat kepadanya lebih dekat lagi. Maka, anak yang lahir dari benih orangtua yang dekat kepada Allah akan dekat pula dengan-Nya. Bahkan, mungkin akan lebih dekat lagi. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

“Apabila seseorang mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Apabila ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta Aku akan mendekat sedepa, dan apabila ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang dengan berlari.” (HR. Bukhari).

Petani dengan seekor kuda

Ada Allah Yang Mengatur Segalanya

Di suatu tempat, seorang petani memiliki kuda yang sangat bagus. Seorang hartawan sangat ingin membeli kuda itu. Harganya tak tanggung-tanggung, 50 ribu dirham. Akan tetapi, sang petani dengan sopan menolak karena dia pun menyukai kuda tersebut.

Banyak orang menyesali sang petani yang tak menukar kudanya dengan uang sebegitu besar. Tak dinyana, tak diduga, suatu hari hilanglah kuda si petani. Maka, orang pun mulai menyalahkannya.

“Mau dibeli sebegitu mahal tak boleh, sekarang kuda pun raib. Rugi besar dia.”

Mendengar itu, sang petani berkata, “Yang aku tahu kudaku hilang, tetapi aku tak tahu apakah aku menjadi rugi karenanya.” Dia memilih bersabar.

Kenyataannya, beberapa hari kemudian kuda itu kembali, sambil membawa bersamanya puluhan kuda liar yang bagus-bagus. Sang petani bersyukur. Namun, sekali lagi cobaan menimpanya. Karena sesuatu hal, suatu hari kuda tersebut mengamuk dan menendang kaki anaknya yang belia, sehingga kaki sang anak cacat. Sekali lagi orang-orang menyalahkan si petani. “Coba saja kuda itu dijual, kau akan dapat uang banyak, dan anakmu tak akan cacat.”

Lagi-lagi si petani menjawab, “Ya, anakku memang cacat, tetapi aku tak tahu apakah itu merugikanku.” Sekali lagi si petani memilih bersabar.

Tak lama setelah itu, datanglah serombongan tentara suruhan raja untuk merekrut anak-anak muda menjadi tentara yang akan dikirim ke medan perang melawan musuh. Anak si petani tak jadi direkrut karena kakinya cacat. Terbukti belakangan, banyak anak muda yang dikirim ke medan perang menjadi korban jiwa. Maka, sekali lagi, si petani pun bersyukur.


Baca juga : Restu Orang Tua Adalah Awal Tarekat , Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa


Apa yang dapat kita petik dari kisah petani dan kudanya diatas? Ternyata, begitu mudahnya Allah SWT melukiskan orang sabar itu yaitu orang-orang yang digambarkan dalam firman-Nya dalam Al Qur’an :

surat al baqarah 155-156

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali,”
(QS Al-Baqarah : 155-156)

Setiap musibah, cobaan dan ujian itu tidaklah berarti apa-apa karena kita semua adalah milik Allah karena kita berasal dari-Nya, dan baik suka-maupun duka, diuji atau tidak, kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ujian apapun itu datangnya dari Allah, dan hasil ujian itu akan kembali kepada Allah.

Maka seperti yang diteladankan oleh sang petani miskin, yang senantiasa bertawaqal dan menyerahkan semua urusannya kepada Allah SWT, maka Allahpun menganugerahinya akhir yang menyenangkan.

Restu Ibu

Restu Dari Orangtua adalah Awal Tarekat

Abu Yazid al-Bistami adalah seorang sufi besar yang lahir di Bistham, Persia (Iran). Wafat pada 261 H/874 M dan dimakamkan di sana. Nama kecilnya adalah Taifur.

Oleh ibunya, Taifur disekolahkan. Di sekolah, dia belajar al-Quran. Suatu hari, pelajaran sampai pada penjelasan makna surat Luqman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Kepada-Kulah kalian akan kembali”, (QS Luqman: 14).

Hati Taifur bergetar mendengar ayat ini.

“Guru”, tanyanya sambil meletakkan buku catatannya, “Izinkan aku pulang dan mengatakan sesuatu pada ibuku”. Gurunya mengizinkan. Taifur pun bergegas pulang.

“Ada apa Taifur?” tanya ibunya heran, “mengapa kamu pulang? Apakah mereka memberimu hadiah, atau ada acara khusus?”

“Tidak Ibu”, jawab Abu Yazid kecil, “Tadi pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkanku untuk mengabdi kepada Dia dan kepada Ibu. Aku tidak bisa menjadi pembantu di dua rumah sekaligus. Ibu, ayat ini membuatku gelisah. Hanya ada dua pilihan: Ibu memintaku dari Allah agar aku dapat menjadi milik ibu sepenuhnya, atau Ibu menyerahkanku kepada Allah agar aku bisa tinggal sepenuhnya bersama-Nya.”

“Anakku. Aku serahkan dirimu kepada Allah dan membebaskanmu dari segala kewajiban kepadaku,” jawab ibunya tegar. “Pergilah dan jadilah milik Allah!”

“Tugas itu aku pikir adalah tugas yang terbelakang, namun akhirnya terbukti bahwa itu adalah tugas yang terdepan,” kenang Abu Yazid. “Yaitu membahagiakan ibuku. Dalam membahagiakan ibuku, aku justru memperoleh semua yang aku cari dalam banyak latihan kedisiplinan dan ibadahku.”

Abu Yazid kemudian berkisah: Suatu malam, ibuku memintaku mengambilkan air minum. Aku bergegas mengambilkannya, namun tak ada air di teko. Aku pun mengambil kendi, dalam kendi pun tak ada air. Lalu aku pun pergi ke sungai dan mengisi kendi itu. Saat aku sampai di rumah, ibuku sudah tidur.

Malam itu udara sangat dingin. Aku memegang teko itu dengan tanganku. Ketika ibuku bangun, beliau pun minum lalu mendoakanku. Ketika beliau mengetahui tanganku menggigil memegang teko itu, dia bertanya.

“Mengapa tak kau letakkan saja teko itu?”

“Aku takut, saat ibu bangun aku tidak ada di samping ibu,” jawabku.

“Biarkan pintu itu terbuka separuh,” pinta ibuku.

Aku pun berjaga sepanjang malam untuk memastikan pintu kamar ibuku tetap terbuka separuh. Aku tidak boleh mengabaikan perintahnya. Saat fajar, apa yang selama ini aku cari-cari itu pun masuk melalu pintu itu.


Baca juga : Kesabaran Ulama Yang Menakjubkan || Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa


Hikmah
Kisah awal perjalanan ruhani Abu Yazid al-Bistami ini mengajarkan, jalan ruhani (tarekat) itu harus dimulai dari rumah kita sendiri, yakni restu kedua orangtua khususnya Ibu. Tarekat itu adalah jalan mencari ridha Allah, sementara ridha Allah itu, seperti dinesehatkan junjungan Nabi SAW, terletak pada ridha kedua orangtua. Tarekat itu adalah jalan untuk meraih cinta Allah, sementara Allah sangat mencintai hamba yang berbakti kepada ibu-bapaknya.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Aku bertanya kepada Nabi SAW, ‘manakah amalan yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘shalat tepat waktu’, Lalu apa lagi? Beliau menjawab, ‘berbakti kepada orangtua.’ Aku bertanya, lalu apa lagi? Beliau menjawab, ‘’berjihad di jalan Allah’.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).

Tareket adalah jalan mencari keselamatan di akherat, sementara surga-neraka itu berada dalam genggaman ibu-bapak.

“Seseorang bertanya kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak kedua orangtua terhadap anaknya?’ Beliau menjawab, ‘Keduanya adalah surgamu dan nerakamu’”. (HR. Ibnu Majah)

Allah swt berfirman, “Allah telah menetapkan agar kalian tidak mengabdi kecuali kepada-Nya, dan berbaktilah kepada kedua orangtua.” (QS Al-Israa: 23).

Tarekat adalah jalan menapaki tasawuf. Sementara inti tasawuf adalah tauhid dan akhlak. Syaikh Abdul Qadir al Jailani berpetuah, tasawuf adalah kokohnya keyakinan kepada Allah dan kemuliaan akhlak kepada sesama mahluk. Bertarekat adalah menumbuhkan benih tauhid dalam dada, sekaligus memperindah akhlak kepada sesama mahluk Allah. Dan mahluk terdepan yang harus dipergauli dengan akhlak terbaik, selain Nabi SAW, adalah ibu dan bapak kita.

Unta

Kesabaran Ulama yang Menakjubkan (2/2)

Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis, ia berkata, “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun, dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku, sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja, dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”

Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya.

Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut, aku tak tahu harus memulai dari arah mana.

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak Tua.

Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu, maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai atau sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.

Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong, rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung.

Aku lebih sedih memikirkan nasib pak Tua dari pada nasib si bocah.

Aku pun turun dari bukit dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam.

Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian? Ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?

Aku berjalan menujuk kemah pak Tua, aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?

Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam, maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya. ia mendahuluiku dengan bertanya, “Di mana si bocah?”

Namun kataku, “Jawablah terlebih dahulu, siapakah yang lebih dicintai Allah, Engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”

“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah”, jawabnya.

“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali. “Tentu Ayyub…” jawabnya.


Baca juga : Ivan Agueli Sang Pelopor Tasawuf di Eropa , Berbuat Kebaikan Dengan Menjadi Kontributor


“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung, ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.

Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya, namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya, hingga akhirnya ia meninggal dunia.

Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya, lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya.

Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka, nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku.

Kukatakan, “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya, maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”

“Iya…” jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya, namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak,“Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”

Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh.

Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah.

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah, ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna, ia berjalan-jalan di tanah yang hijau, maka aku bertanya kepadanya, “Hai Abu Qilabah, apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Maka jawabnya, “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah dan dikatakan kepadaku di dalamnya: Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu, maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali.”

Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian. Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.

kamp

Kesabaran Ulama Yang Menakjubkan (1/2)

Abu Ibrahim bercerita: Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas, kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:

“Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.”

Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh, ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi, kedua tangannya buntung, matanya buta, dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya.

Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang mengurusinya, atau isteri yang menemaninya? Ternyata tak ada seorang pun.

Aku beranjak mendekatinya dan ia merasakan kehadiranku, ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”

“Assalaamu’alaikum, aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini”, jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku. “Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu dan kerabatmu?” lanjutku.

“Aku seorang yang sakit, semua orang meninggalkanku dan kebanyakan keluargaku telah meninggal”, jawabnya.

“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: ‘Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…!!’ Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya dan sebatang kara?”ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu, tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu”, kataku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia, bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir?”

“Betul”, jawabku. Lalu dia berkata: “Berapa banyak orang yang gila?”

“Banyak juga”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia”, jawabnya.


Baca juga : Sekretariat Pontren Suryalaya Rilis Pelaksanaan Shalat Sunat Rajab 1439 H


“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, jawabnya.

“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar?” katanya.

“Banyak juga…” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.

“Wah, banyak itu”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya, mengharap pahala dari-Nya dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. Lalu katanya, “Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”

“Banyak sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”, katanya.

Pak Tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah.

Betapa banyak pesakitan selain beliau, yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau, mereka ada yang lumpuh, ada yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan organ tubuhnya, tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh dan menangis sejadi-jadinya, mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar.

Aku pun menyelami fikiranku makin jauh, hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak Tua mengatakan, “Hmm… bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang, maukah kamu mengabulkannya?”

“Iya, apa permintaanmu?” kataku.

(Klik disini Untuk Kisah Selanjutnya)