sepatu kayu

Ketika Seorang Anak Kecil, Memberi Nasihat


Suatu hari, Numan bin Tsabit atau yang biasa kita kenal dengan Abu Hanifah, atau Imam Hanafi, berpapasan dengan anak kecil yang berjalan mengenakan sepatu kayu.

Sang Imam berkata, “Hati-hati Nak dengan sepatu kayumu itu. Jangan sampai kau tergelincir.”

Bocah ini pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas perhatian Abu Hanifah.

“Bolehkah saya tahu nama anda, Tuan?” tanya si bocah.

“Numan namaku,” jawab sang imam.

“Jadi, Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar al-Imam al-A’dhom (Imam Agung) itu?” tanya si bocah

“Bukan aku yang memberi gelar itu,” jawab Sang Imam. “Masyarakatlah yang berprasangka baik dan memberi gelar itu kepadaku.”

“Wahai Imam, hati-hati dengan gelar anda. Jangan sampai Tuan tergelincir ke neraka karena gelar,” nasehat si bocah.

“Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelar anda itu dapat menjerumuskan anda ke dalam api yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya.”

Ulama besar itu pun tersungkur menangis. Beliau bersyukur. Siapa sangka, peringatan datang dari lidah seorang bocah.

Maka berwaspadalah. Jangan kita jadikan gelar di dunia sebagai alasan untuk sombong. Lihat apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang berbicara.

IMG_20180331_113419

Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah

  1. Pengertian Tasawuf

Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW, gaya hidup sederhana, tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasul tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian cahaya Alquran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan garis perhentian cita-cita tasawuf dalam Islam itu.

Dhunnun al-Misri, seorang sufi yang terkemuka, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tasawuf ialah pembebasan dari ragu dan putus asa, kemudian tegak berdiri beserta yakin iman. Pengertian yang simpang siur tentang urat bahasa sufi dan tasawuf menimbulkan pengiraan bahwa tasawuf Islam mencakup pula bahan-bahan sufi Yunani dan mistik, serta Hindu Farsi. Pandangan tersebut merupakan pengiraan yang keliru dan mengelirukan. Terlepas dari adanya pengakuan jujur tentang adanya persamaan yang tampak lahirnya, ataupun mengenal istilah-istilah dan cara-cara melatih jiwa. Di dalam tasawuf Islam ditemukan ciri-ciri yang istimewa; yaitu pengembalian dengan cara mutlak segala persoalan agama dan kehidupan kepada Alquran dan Sunnah.

Al-Junaid, penghulu sufi Islam, di dalam redaksi yang bermacam-macam menegaskan bahwa yang mungkin menjadi ahli tasawuf itu hanyalah barang siapa yang mengetahui keseluruhan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena itu yang sebenarnya tasawuf adalah kefanaan diri ke dalam kemurnian Alquran dan Sunnah.

Pengertian Tarekat

Secara terminologi (istilah) tarekat yang berasal dari kata thariqah itu mula-mula berarti jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kemudian ia digunakan untuk menunjuk suatu metode psikologi moral untuk membimbing seseorang mengenal Tuhan. Tarekat dalam pengertian inilah yang digunakan dalam karya al-Junayd, al-Hallaj, al-Sarraj, al-Hujwiri, dan al-Qushayri. Melalui jalan itu seseorang dengan menempuh berbagai tingkatan psikologis dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi, sehingga akhirnya ia mencapai realitas (hakikat) Tuhan yang tertinggi.

Tarekat adalah suatu metode praktis dalam membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan secara berurutan untuk merasakan hakikat Tuhan. Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah.

Berdasarkan uraian itu maka dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah jalan yang ditempuh murid agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan guru (mursyid).

Perkembangan Tarekat

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya tarekat. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Thariqah Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Thariqah Naqsabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah, dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam’iyah Ahlal-Thariqah al-Mu’tabarah.

doa

Ingat, Jangan Lupa Diri

Bisyr al-Harits lahir di sekitar kota Merv pada 767 Masehi. Merv adalah kota tua di wilayah Turkmenistan, Asia Tengah. Kemudian beliau tinggal di Baghdad. Beliau adalah seorang syaikh terkenal pada zamannya. Setelah bertaubat dari kehidupannya yang glamor, Bisyr muda berguru pada Syaikh Fudail bin ‘Iyadh.

Tentang ketawadhuan beliau, seorang sahabatnya bercerita; Saat itu aku sedang bersama Bisyr al-Harits. Cuaca sangat dingin. Aku mendapatinya tidak mengenakan baju dan sedang mengigil kedinginan.

Aku berkata kepadanya, “Abu Hashr, di cuaca sangat dingin begini orang-orang biasanya mengenakan pakaian serba tebal. Engkau malah melepaskan bajumu.”

Beliau menjawab, “Ya. Aku jadi teringat pada orang-orang miskin. Aku tidak punya uang untuk membantu mereka, maka aku ingin sekali berbagi rasa dengan mereka.”

Hikmah

Kisah ini mengandung nasehat, bahwa kita harus peduli pada orang lain, terutama pada mereka yang kondisinya di bawah kita. Paling tidak, apa yang kita katakan dan lakukan tidak boleh merugikan orang lain. Begitu halnya dengan sikap kita, jangan sampai tanpa disadari ternyata menyinggung orang lain.

Untuk orang yang berhati-hati seperti ini, Rasulullah SAW memuji: Rasulullah SAW berdiri di hadapan beberapa orang, lalu bersabda, “Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik dan seburuk-buruk orang dari kalian?” Mereka terdiam, dan Nabi bertanya seperti itu tiga kali. Lalu ada seorang yang berkata, “Iya, kami mau wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami sebaik-baik dan buruk-buruk kami.” Beliau bersabda, “sebaik-sebaik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan keburukannya terjaga…” (HR. At-Tirmidzi).

Lebih baik lagi jika selalu sadar agar setiap kata yang terucap, sikap yang terungkap dan perbuatan yang dilakukan, bermanfaat bagi orang lain. Sekalipun itu tak ada untungnya atau bahkan merugikan kita sendiri. Sikap inilah yang dicontohkan oleh para rasul Allah dan auliya (kekasih-Nya) yang seumur hidupnya berjuang membimbing manusia di jalan-Nya. Untuk yang memiliki kepribadian seperti ini, Rasulullah saw memuji, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat bagi orang lain”. (HR. Ahmad, Thabrani).

Ketika kita tak mampu memberi manfaat atau bantuan lebih bagi orang-orang di sekitar, paling tidak kita harus menunjukkan empati/kepekaan terhadap mereka. Di depan mereka yang miskin harta, jangan tunjukkan kemewahan yang kita miliki. Di hadapan orang sakit, jangan tunjukkan kesenangan dan kebanggaan diri. Bersama orang-orang awam, jangan banyak berbicara perkataan yang ‘melangit’, dan seterusnya. Kecuali ada maksud positif untuk memberikan motivasi atau bimbingan tertentu.


Baca juga : Terkabulnya Do’a Si Pembuat RotiAyo Menjadi Kontributor di Manaqib.id


Jika tidak demikian, tanpa disadari kita akan mudah menyinggung perasaan orang lain. Bahkan, jika sering atau berlebihan, orang itu mungkin akan merasa terzalimi sedangkan kita tak menyadarinya. Kita sendiri yang akan dirugikan. Rasulullah SAW mengingatkan, “Takutlah engkau pada do’anya orang yang terzalimi. Sebab antara dia dan Allah tak ada hijab”. (HR. Ahmad dan Bukhari).

Keunggulan duniawi memang sering membuat kita sombong. Saat kita kaya, akan mudah merendahkan yang miskin. Dengan kepintaran kita, akan mudah meremehkan yang bodoh. Dengan kecantikan kita, akan mudah merendahkan yang penampilannya biasa. Bahkan, keunggulan relijius dan spiritual pun tak jarang membuat seseorang mudah meremehkan yang ibadahnya kurang taat dan pengalaman spiritualnya lebih sedikit.

Rasulullah SAW bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia”. (HR. Muslim).

Untuk itu, seperti dicontohkan Syaikh Bisyr pada kisah di atas, hendaknya kita gemar menyejajarkan diri dengan orang-orang yang lebih rendah keadaannya, baik dalam hal duniawi maupun ruhani, meskipun kenyataannya kita lebih tinggi. Kita mau bergaul dengan mereka sebagaimana kita bergaul dengan orang-orang yang sederajat atau yang lebih tinggi.

Syaikh Abdullah Murabok (1836-1956), seorang ulama sufi dari Tasikmalaya, dalam Tanbih-nya berwasiat, “Terhadap orang-orang di bawah kita, janganlah menghina atau berbuat semena-mena, tak mau menghargai. Sebaliknya, bergaullah dengan mereka dengan kasih-sayang dan penuh kerelaan, terhadap fakir-miskin harus berkasih-sayang, berbudi bersih, serta bermurah tangan. Tunjukkanlah bahwa hati kita peduli.”

Ini mungkin berat, tetapi sangat dianjurkan, sebagai terapi ruhani untuk merontokkan atau menghindarkan diri dari virus kesombongan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku hendaknya kalian merendahkan hati sehingga tak seorang pun menyombongkan diri dan berbuat semena-mena atas yang lain.” (HR. Muslim).

Sombong bermula dari lupa diri. Kita merasa, semua keunggulan duniawi, relijius atau spiritual itu adalah prestasi kita, milik kita yang diperoleh karena kehebatan kita. Kita lupa bahwa itu semua adalah pemberian dari Allah. Kita lupa semua itu dianugerahkan Allah bukan untuk dimiliki, dibanggakan apalagi disombongkan. Sebaliknya, setiap keunggulan itu menjadi ujian bagi kita. Allah SWT mengingatkan, “Dan Dialah yang menjadikan kalian para penguasa di bumi. Dia meninggikan sebagian dari kalian beberapa derajat, untuk menguji kalian atas apa yang Dia anugerahkan pada kalian”. (QS Al-An’am: 165).

Kita justru akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap nikmat yang diperoleh, apalagi jika nikmat tersebut berlebih di atas orang lain. “Kemudian, sungguh kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas semua nikmat itu”. (QS At-Takatsur: 8).


Baca juga : Mati itu kepastian, Husnul Khatimah itu Pilihan Terbaik, Ayo Menjadi Kontributor di Manaqib.id


Semua datang dari Allah. Apa yang kita miliki dari Allah. Diri kita pun ciptaan Allah. Semua diatur dan digerakkan oleh Allah. Pada masanya masing-masing, seluruhnya akan kembali kepada-Nya. Tak terkecuali diri kita dan apa yang selama ini kita miliki.

Saat maut menjemput, tak satu pun ikut. Semua kesenangan yang kita buru seumur hidup akan sirna. Semua yang kita banggakan, pangkat, jabatan, kekayaan, ilmu, kecantikan tak akan berarti apa-apa. Tubuh pun akan kita campakkan.

Dilihat dari kapan kita akan mati, dan bagaimana kondisi kita saat dimatikan, kita semua sama. Semua menjadi rahasia dan kehendak Allah. Lalu apa yang dibanggakan? Apa pula alasan tetap merasa diri lebih baik dari pada yang lain?

Bekal terbaik menjalani hidup bukan segala kemewahan dunia itu, tetapi takwa. Jika hidup dijalani dengan takwa, ini menjadi bekal menjemput kematian. “Berbekallah. Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai para pemilik qalbu”. (QS Al-Baqarah: 197).

Takwa tak ada hubungannya dengan tampilan luar seseorang. Ia bisa dimiliki siapapun yang beriman kepada Allah. Miskin, kaya, pintar, bodoh, ulama, awam, semua memiliki kesempatan yang sama untuk takwa. Ini menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Allah. Inilah yang menentukan kualitas hidup seseorang di dunia. Ini pula yang menentukan kebahagiaannya kelak di kubur dan akherat.

Maka, belajarlah untuk menghargai orang lain, dan peduli pada kondisi mereka, apalagi yang lebih rendah dari kita. Barangkali di antara mereka ada yang bertakwa dan dikasihi Allah. Jika kita memperlakukannya dengan santun, kita akan memperoleh limpahan doanya. Karena Allah akan mengabulkan doa setiap hamba yang dikasihi-Nya. Sebaliknya, jika kita menzaliminya, Allah-lah yang akan membalaskannya pada kita.

Allah SWT berfirman, Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaKu, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya”. (HR Bukhari).

Barangkali juga, orang yang kita anggap biasa ternyata mulia di sisi Allah. Sementara kita, yang dianggap mulia oleh banyak orang, karena ibadah, penampilan, ilmu atau harta kita, ternyata tidak demikian di mata Allah. Kita harus pandai menempatkan diri. Kita ini diciptakan sebagai hamba. Maka jangan pernah menjadi tuan bagi hamba Allah yang lain.

tasawuf

Fungsi dan Hukum Bertasawuf (2/2)

Seorang hamba jika ikhlas dan ridha dalam menjalankan tugas kehambaannya di hadapan Allah, maka Allah akan memberikan pertolongan kepadanya dari arah manapun. Allah akan memuliakannya dengan anugerah ilmu yang tidak dia ketahui sebelumnya.

Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 282, “Dan bertakwalah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan mengajari kalian.” Demikian yang dipaparkan Syaikh ath-Thahthawi dalam bukunya Hasyiyah ath-Thahthawi ‘ala maraqi al-Falah.

Sayangnya tidak setiap orang mampu mengetahui penyakit batinnya sendiri. Dia selalu merasa amal ibadah yang dilakukan telah sempurna, atau merasa batinnya sudah bersih. Padahal, kenyataannya amal ibadahnya sangat jauh dari sempurna dan batinnya masih digerogoti virus-virus yang menyesatkan. Dia memerlukan cara atau metode khusus untuk mengetahui dan mengobati dirinya dari penyakit tersebut. Untuk maksud itulah tasawuf dilahirkan.

Syaikh Ibnu Zakwan berkata, “Tasawuf adalah ilmu yang mengajarkan cara membersihkan diri dari segala kotoran ruhani.”

Ilmu tasawuf memfokuskan diri pada pengobatan penyakit-penyakit batin. Ia juga bertujuan untuk mengajarkan sifat-sifat mulia seperti taubat, takwa, istiqamah, jujur, ikhlas, zuhud, tawakal, ridha, berserah diri, cinta kasih, zikir, muraqabah dan lain-lain. Ia juga mengajarkan bagaimana menjauhi sifat-sifat tercela, seperti dendam, dengki, iri hati, suka dipuji, angkuh, pamer, marah, tamak, kikir, mengagung-agungkan harta, merendahkan orang miskin dan lain-lain. Dengan tasawuf orang itu dapat membebaskan hatinya dari keterikatan kepada selain Allah dan menghiasinya dengan dzikir kepada-Nya.

Meskipun batin dan jiwa adalah objek terpenting dari kajian tasawuf, tetapi ia tetap tidak mengesampingkan aspek lahir, aspek ibadah fisik dan harta. Tasawuf bukan sekadar wirid dan dzikir, seperti banyak yang disalahfahami orang. Tasawuf merupakan metode praktis dan sempurna yang dapat membentuk seseorang menjadi pribadi yang lurus, ideal dan sempurna, jauh dari sesat dan penyimpangan.

Tasawuf adalah ruh dan jantung Islam yang terus berdenyut. Agama Islam bukan sekedar amalan-amalan lahiriah dan formalistik. Ia juga menyimpan aspek-aspek ruhani yang merupakan kekuatan tersebunyi di balik amalan-amalan lahiriah dan formalistik tersebut.

Kemerosotan kaum Muslimin tidak lain disebabkan mereka telah jauh dari nilai-nilai ruhani agamanya. Mereka telah disibukkan oleh urusan-urusan materi/duniawi. Maka, para ulama dan para sufi pun mulai mengajak mereka untuk bergabung dan belajar bersama kelompok-kelompok dzikir. Hal itu tidak lain agar bisa menyelaraskan antara raga dan jiwa, agar bisa lebih dekat mengenal Allah (ma’rifatullāh), agar bisa memenuhi hati dengan cinta kasih, muraqabah dan dzikir kepada-Nya.

Penelitian dan perenungan panjang yang dilakukan Imam al-Ghazali terhadap ajaran-ajaran tasawuf membawanya pada kesimpulan, bahwa belajar dan menggeluti tasawuf bersama para sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab, tidak seorangpun dapat terbebas dari aib atau kesalahan kecuali para nabi. Kaum sufi adalah orang-orang yang teguh dan tekun membersihkan diri dari aib dan kesalahan, sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Nabi.

Diperlukan tekad yang bulat, kesabaran dan kesungguhan. Sebab meniti jalan tasawuf sangatlah sulit. Namun, jika itu bisa dilewati, maka kita bisa selamat dari murka Allah. (Tamat)

sholat-shubuh-jpg

Fungsi dan Hukum Bertasawuf (1/2)

Aturan-aturan syari’at atau hukum taklifi yang diturunkan kepada manusia ada dua macam. Pertama, yang berkaitan dengan amal lahir, dan kedua berkaitan dengan amal batin.

Yang berkaitan dengan amal lahir dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu perintah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain, serta larangan, seperti zina, mencuri, meminum khamr dan lain-lain. Amal batin juga dibagi menjadi dua, yaitu perintah, seperti iman, ikhlas, ridha, jujur dan khusyu’, serta larangan, seperti kufur, syirik, kemunafikan, sombong, riya dan lain sebagainya.

Kedua bagian syariat itu adalah penting, karena merupakan ketentuan agama. Akan tetapi, amal batin lebih penting dan lebih utama. Sebab, amal batin adalah fondasi atau sumber dari amal-amal lahir. Jika amal batin rusak, maka amal lahir akan rusak. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Kahfi ayat 110: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”

Lebih lugas lagi, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat jasad dan bentuk tubuh kalian, tetapi Dia melihat qalbu kalian.” (HR. Muslim).

Jadi, ukuran baik tidaknya seseorang di mata Allah tergantung pada baik-buruknya batin atau qalbunya yang merupakan sumber amal-amal lahir. Maka, membersihkan qalbu dan mensucikan jiwa adalah kewajiban individual (fardhu’ain) yang paling penting dan perintah Allah yang paling utama.

Beberapa dalil al-Quran yang banyak menyinggung tentang perbuatan-perbuatan dosa yang sifatnya tersembunyi yang seringkali tidak disadari oleh pelakunya.

QS Al-A’raf: 33; “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi’.”

QS Al-An’am: 151; “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.”

Para ahli tafsir mengatakan bahwa perbuatan keji yang tersembunyi maksudnya adalah dendam, riya, iri hati dan kemunafikan.

Keterangan dari al-Quran di atas dijelaskan Nabi dalam sabda-sabdanya. misalnya, hadits-hadits tentang larangan dendam, sombong, ria, dengki dan sifat-sifat tercela lainnya jumlahnya sangat banyak. Begitu juga hadits-hadits yang memerintahkan untuk menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Contohnya adalah hadits berikut:

“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam qalbunya ada sedikit saja kesombongan.” (HR. Muslim)

“Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh cabang, yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha Illallaah. Yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menegaskan bahwa kesempurnaan iman hanya bisa diperoleh dengan melengkapi/menyempurnakan bagian-bagian iman tersebut di dalam diri.

Para ulama sepakat bahwa penyakit batin seperti syirik, riya, sombong, dengki, ujub, munafik dan sebagainya adalah dosa besar. Melakukan dosa besar adalah haram menurut syariat. Penyakit-penyakit batin ini bisa menjangkiti siapa saja. Oleh karenanya, mengetahui macam-macam penyakit batin menurut Ibnu Abidin adalah wajib ‘ain (wajib bagi setiap mukmin). Ini berarti mengetahui batasan, penyebab, tanda-tanda serta mengetahui metode pengobatannya, adalah wajib ‘ain. Barangsiapa yang tidak mengetahui kejahatan, maka dia akan mudah terperosok ke dalamnya. Bersambung…

IMG_20180322_094233

Terkabulnya Do’a Si Pembuat Roti Karena Selalu Beristighfar

Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal yang tinggal di Baghdad ingin melakukan perjalanan ke Basrah tanpa ada keperluan apapun. Tidak seperti biasanya, keinginannya itu begitu kuat.

Pada malam hari sampailah Imam Ahmad di sebuah kampung di kota Basrah. Ia kemudian singgah di sebuah masjid untuk melakukan shalat sekaligus niat bermalam di sana. Se usai shalat, ia hendak merebahkan tubuhnya yang sudah renta guna melepaskan sedikit kepenatan malam itu. Tiba-tiba sang penjaga masjid datang dan melarang ulama pendiri mazhab Hanbali ini tidur di dalamnya.

Imam Ahmad langsung keluar dan berpindah ke teras masjid dengan niat beristirahat di luar masjid. Namun sang penjaga tetap saja mengusir beliau secara kasar, bahkan sampai menarik beliau ke jalanan. Rupanya sang penjaga tidak mengetahui bahwa yang diusir adalah seorang ulama besar. Sementara Imam Ahmad juga tidak ingin memperkenalkan dirinya. Akhirnya Imam Ahmad keluar dari area masjid tanpa tahu harus ke mana.

Saat kebingungan itu lewatlah seorang penjual roti yang melihat kejadian itu. Orang itu tertarik untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada orang tua sampai diusir oleh penjaga masjid. Imam Ahmad menceritakan kepada tukang roti itu sehingga ia menjadi iba. Si tukang roti kemudian mengajak Imam Ahmad menginap di rumahnya.


Baca juga : Ini Dia, Rahasia Anak Shalih , Berbuat Kebaikan, Menjadi Kontributor Di Manaqib.id


Di rumah pembuat roti itu, Imam Ahmad dijamu dengan baik layaknya seorang tamu. Entah karena ingin menyembunyikan identitas atau karena tidak ditanya oleh tuan rumah, ia tidak mengenalkan dirinya sebagai Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ulama besar yang namanya begitu terkenal.

Setelah beberapa saat bercengkerama, si tuan rumah mempersilakan Imam Ahmad beristirahat, sementara ia sendiri menyiapkan adonan roti untuk ia jual esok hari. Sebelum tidur Imam Ahmad melihat sesuatu yang menarik dari pembuat roti ini. Selama bekerja ia selalu melantunkan istighfar (astaghfirullah: aku mohon maaf kepada Allah Ta’ala) sampai pekerjaannya selesai.

Keesokan harinya, Imam Ahmad yang penasaran kemudian bertanya kepada si pembuat roti, “Semalam terdengar olehku lantunan istghfar yang terus menerus engkau baca ketika engkau sedang membuat adonan roti. Katakanlah kepadaku wahai tuan, apakah engkau mendapat sesuatu dari bacaan istighfar yang engkau baca?”

Hal ini sengaja ditanyakan oleh Imam Ahmad karena sebagai seorang ulama yang sangat tinggi ilmu agamanya tentu beliau tahu persis tentang keutamaan istighfar, serta faidah-faidah bagi yang sungguh-sungguh mengamalkannya.

Si pembuat roti lalu menjawab, “Ya. Begitulah adanya. Sungguh saya benar-benar telah mendapatkan faidah dari keutamaan melazimkan istighfar. Demi Allah, sejak saya melazimkan istighfar, saya tidak memohon sesuatu kepada Allah kecuali pasti dikabulkan. Doa saya selalu diijabah oleh-Nya. Hanya ada satu doa saya yang belum terkabul sampai saat ini.”

Imam Ahmad bertanya, “Apa itu?”

Si pembuat roti berkata, “Permohonan untuk dapat bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal!”

Mendengar hal tersebut, tersenyumlah Imam Ahmad. Nampaknya beliau sudah mengerti hikmah kejadian diusirnya beliau dari sebuah masjid kemarin malam. Allah Ta’ala berkehendak mengabulkan doa si pembuat roti dengan perantara peristiwa tersebut.

Lalu Imam Ahmad berkata, “Wahai Tuan, Sayalah Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, Allah-lah yang mengaturku sehingga bisa bertemu denganmu.”

Kematian-Pasti-Datang-Anda-Sudah-Siap

Mati itu Kepastian! Husnul Khatimah itu Pilihan Terbaik.

Tersirat suatu pepatah tua dari Arab yang menarik untuk kita renungkan, “Ilamuu annaddunya daarul balagh wal aakhiraata daarul qaraar”. Artinya, ketahuilah sesungguhnya dunia ini seperti kapal yang menuju pantai, dan negeri akhirat itu adalah negeri yang kekal abadi selamanya.

Maka ambillah bekal! Dari dunia yang fana ini untuk negeri akhirat yang kekal selama-lamanya, dan yang paling baik bekal itu adalah “Taqwalloohi ta’alaa”.

Firman Allah dalam surat Al Hasyr, 59 : 18, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Jelas sekali tersirat dalam ayat tersebut bahwa kita dianjurkan untuk berlaku serius selaku umat muslim untuk mempersiapkan amal-amal sholeh kita untuk besok (yaumil akhir), karena mati itu pasti! Dan hari kiamat itu pasti!

Menurut penelitian para ahli, bahwa diseluruh dunia, setiap detik ada 1,5 orang yang meninggal dengan kata lain dalam 2 detik ada 3 orang meninggal karena berbagai sebab.

Saat anda membaca artikel ini sudah melewati 30 detik berarti sudah ada 45 orang diseluruh dunia yang meninggal.

“Kullu nafsin zaa’iqatul maut”, setiap yang bernyawa akan merasakan mati (QS Ali Imran, 3 : 185). “Wa ing kullul lammaa jami’ul ladaynaa mukhdharuun”, dan setiap (umat), semuanya akan dihadapkan kepada kami. (QS Yasin, 36 : 32).

Maka apa-apa yang pasti datang itu adalah dekat, meskipun seribu tahun lagi. “Kullu aatin qaaribun”, tiap-tiap yang akan datang itu adalah sesungguhnya sangatlah dekat.

Sesuai dengan hadits Nabi SAW, “Al mautu aqraabu ghaiibin yuntadzhar”, artinya mati itu paling dekat dan itu adalah sesuatu perkara yang ghaib yang dinanti-nantikan.

“Man maata faqad qaamat qiyaamatuhu”, artinya siapa yang mati maka bagi orang itu telah berdiri memasuki hari qiyamatnya.

Sebagaimana pula didalam hadits Rasulullah SAW, “Al qabru awwalu manzilin min manaziliil aakhiraati fain-nazaa minhu famaa ba’dahu ay-saru anhu wain-lam yanzu minhu famaa ba’dahu asyudda minhu”, artinya kubur itu adalah persinggahan pertama dari pada beberapa persinggahan akhirat yang akan dihadapi.

doa1

Ini dia, Rahasia Anak Shalih

Rabi’ah Al-Adawiyah adalah legenda perempuan shalihah dari generasi awal kaum Sufi. Konon, ketinggian maqam spiritualnya melampaui gurunya Hasan al-Basri. Hidup sekitar abad kedua hijriah, Rabi’ah tidak menikah. Dalam hatinya tiada sisa tempat bagi cinta kepada selain Allah.

Pada malam ketika Rabi’ah dilahirkan, tak ada apa-apa di rumahnya. Orangtuanya hidup sangat miskin. Bahkan keluarga itu tidak memiliki setetes minyak pun untuk mengolesi pusar Rabi’ah. Tak ada lampu. Juga tak ada sehelai kain pun untuk membungkus bayi yang baru lahir itu.

Keluarga itu telah memiliki tiga anak perempuan dan Rabi’ah adalah yang keempat. Ini mengapa ia diberi nama Rabi’ah (yang keempat).

“Pergilah ke tetangga. Mintalah setetes minyak agar aku bisa menyalakan lampu,” pinta sang istri.

Namun, lelaki itu telah bersumpah tidak akan pernah meminta apapun dari manusia. Maka ia pun pergi dan hanya menyandarkan tangannya di pintu rumah tetangganya, lalu kembali.

“Mereka tak membukakan pintu,” lapor lelaki itu pada istrinya.

Perempuan malang itu menangis pilu. Dalam kondisi yang serba membingungkan itu, lelaki itu duduk menyandarkan kepalanya di atas lutut dan tertidur.

Dalam tidurnya, dia bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW. “Jangan bersedih,” hibur Nabi. “Anakmu yang baru saja lahir itu adalah seorang ratu bagi kaum perempuan. Dia kelak akan menjadi pemberi syafaat bagi 70 ribu umatku di Hari Kiamat,” lanjut Nabi. “Pergilah kepada Isa al-Zadan, Gubernur Basrah. Tulislah pada selembar kertas kalimat ini: ‘Setiap malam engkau bershalawat kepadaku 100 kali dan 400 kali pada Jum’at malam. Kemarin malam adalah Jum’at malam dan kau melupakanku. Sebagai tebusannya, berikan pada lelaki ini empat ratus dinar dari hartamu yang halal.”

Ketika bangun, ayah Rabi’ah bercucuran air mata. Dia pun bangkit dan menuliskan kalimat dari Nabi itu. Kemudian ia mengirimkan pesan itu kepada Gubernur melalui seorang pengawal Gubernur.

“Bagikan dua ribu dinar kepada fakir-miskin,” perintah Gubernur setelah membaca pesan itu, “sebagai ungkapan syukurku karena Nabi telah mengingatku. Dan berikan empat ratus dinar kepada bapak tua itu, dan katakan kepadanya, ‘Aku berharap Anda berkenan datang agar aku bisa menemui Anda. Namun aku rasa tidak sepantasnya orang seperti Anda datang menemuiku. Lebih pantas aku yang datang mengunjungi Anda dan menempelkan janggutku di ambang pintu rumah Anda. Bagaimanapun, aku mohon demi Allah, apapun yang sedang Anda butuhkan, katakan saja.”

Ayah Rabi’ah pun menerima uang emas itu dan membeli semua kebutuhannya.


Baca juga : Ada Allah yang Mengatur Segalanya


Hikmah
Kisah ini memberikan pelajaran, bahwa seorang anak shalih lahir dari rahim orangtua yang shalih. Saat masih di alam ruh, manusia itu masih suci. Cahaya imannya bersinar terang. Kesuciannya itu akan tetap terjaga atau tidak tergantung pada bagaimana kedua orangtuanya menyambut kelahiran dan membesarkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap manusia dilahirkan dalam fitrah (kemurnian). Kedua orangtuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.” (HR. Muttafaqun ‘alaîh).

Ibu-bapak sejatinya adalah sepasang manusia yang Allah tugaskan untuk menyambut kedatangan ruh-ruh manusia dari alam ruh ke alam dunia. Keduanya juga ditugaskan untuk merawat kesucian ruh-ruh manusia yang kelak berstatus anak-anaknya itu.

Seorang pelaut memerlukan kendaraan kapal untuk mengarungi samudera. Ruh memerlukan tubuh untuk berlayar di alam dunia. Keselamatan si pelaut pertama-tama ditentukan oleh kualitas kapal yang hendak digunakannya. Begitu juga ruh, kesuciannya dapat terjaga atau tidak tergantung pada kualitas jasad yang ditempatinya. Maka yang pertama harus dipersiapkan oleh ibu-bapak adalah tubuh yang baik bagi ruh anaknya.

Untuk mendapatkan keturunan yang sholeh, Imam Syafi’i dalam satu nasehatnya, ada tiga hal yang harus diperhatikan orangtua:

Pertama, makanan/minuman halal (az-zâd al-halâl). Setelah dimasukkan ke dalam jasad, kondisi ruh menjadi terikat dengan jasad tersebut. Jasad yang terbentuk dari saripati makanan/minuman yang halal dapat menjaga kesucian ruh yang menempatinya. Maksud halal di sini, makanan/minuman itu sendiri terbuat dari bahan-bahan yang halal, dan makanan/minuman tersebut diperoleh dengan jalan yang halal pula. Sebaliknya, jasad yang terbentuk dari makanan/minuman yang tak jelas halal-haramnya (syubhat), apalagi yang jelas keharamannya, dapat mengotori kesucian ruh. Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai Sa’ad, perbaikilah (murnikanlah) makananmu, niscaya kau menjadi orang yang terkabul do’anya. Demi yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, sesungguhnya seorang hamba melontarkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama empat puluh hari. Siapapun yang dagingnya tumbuh dari yang haram maka api neraka lebih layak membakarnya.” (HR. Ath-Thabrani).


Baca juga : Sejarah Tentang Tasawuf


Setelah dikonsumsi, makanan/minuman haram akan menjadi awan hitam yang menutupi cahaya ruh. Kisah di atas menggambarkan kehati-hatian seorang ayah menafkahi putrinya yang baru lahir. Bahkan ia tidak mau sembarangan menerima apalagi meminta sesuatu dari orang lain. Akhirnya Allah langsung yang memenuhi kebutuhannya lewat tangan Gubernur Basrah.

Kedua, do’a orangtua. Orangtua adalah termasuk yang do’anya mustajab. Oleh karenanya, harus sering berdo’a untuk anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda:

“Ada tiga do’a yang tidak tertolak yaitu do’a orang tua, do’a orang yang berpuasa dan do’a seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi).

Namun, tidak hanya anak, orangtua pun tubuhnya harus dijaga dari asupan makanan/minuman yang tidak halal, karena makanan/minuman yang haram menjadi sebab tertolaknya do’a. Rasulullah SAW bersabda:

“Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima do’a itu?” (HR Muslim)

Ketiga, kebersihan qalbu kedua orangtua (shofa al-qalbi). Tenggelam dalam kesibukan dunia, asupan makanan/minuman yang bermacam-macam serta berbagai kesenangan duniawi sering kali membuat diri seseorang kotor oleh penyakit-penyakit ruhani seperti dengki, hasut, sombong, cinta dunia (hubb ad-dunya) dan lain-lain. Semuanya ini adalah penyebab kotornya ruh sehingga kelak di Akhirat harus dibersihkan dahulu di neraka. Kisah di atas menggambarkan, bagaimana keteguhan seorang ayah membentengi qalbunya dari ketergantungan pada selain Allah. Keyakinannya kepada Allah begitu kokoh sehingga Allah menganugerahinya mimpi bertemu Nabi SAW, mencukupi kebutuhannya dan menjadikan putrinya sebagai kekasih-Nya (waliyullah).

Ketiga hal ini terkait satu sama lain. Intinya adalah siapapun yang mendambakan keturunan yang shaleh/hah, harus membersihkan dirinya lahir maupun batin. Secara lahir, badannya dibersihkan dari asupan makanan/minuman yang haram dan syubhat. Secara batin, ruhnya dibersihkan dari berbagai penyakit ruhani seperti dengki, hasut, sombong, cinta dunia, malas ibadah dan lain-lain. Dengan sendirinya, dia akan menjadi suka mendekatkan diri kepada Allah swt, karena cahaya ruhnya kembali bersinar terang. Allah pun akan mendekat kepadanya lebih dekat lagi. Maka, anak yang lahir dari benih orangtua yang dekat kepada Allah akan dekat pula dengan-Nya. Bahkan, mungkin akan lebih dekat lagi. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

“Apabila seseorang mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Apabila ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta Aku akan mendekat sedepa, dan apabila ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang dengan berlari.” (HR. Bukhari).

307136-7

Sejarah Tentang Tasawuf (2/2)

Sampai di sini jelas, bahwa ajaran tasawuf lahir dari rahim sejarah dan laku kehidupan Nabi dan para sahabat. Tasawuf bukan sesuatu yang baru dalam agama, bukan pula diadopsi dari tradisi agama lain, seperti yang dituduhkan sebagian orang baik para orientalis maupun ilmuan muslim sendiri.

Mereka berusaha mencampuradukkan makna, maksud dan sumber tasawuf. Mereka mengaitkan tasawuf dengan unsur di luar Islam. Mereka menghubungkan tasawuf dengan spiritualisme Budha, kerahiban Kristen, atau keresian Hindu. Selanjutnya, merekapun membuat julukan-julukan baru yang tak berdasar seperti tasawuf Budha, tasawuf Hindu, tasawuf Kristen, tasawuf Persia dan lain sebagainya.

Tujuan mereka tidak lain adalah mencemarkan nama dan mengaburkan sumber ajaran tasawuf. Namun demikian, seorang mu’min yang teliti dan tulus dalam menerima kebenaran akan menolak tuduhan-tuduhan itu, dan menetapkan bahwa tidak ada tasawuf selain tasawuf Islam.

Disarikan dari kitab Haqaiq ‘an at-Tashawwuf karya Syaikh Abd al-Qadir Isa, Bab pertama At-Ta’rif bi at-Tashawwuf.


[1] Selengkapnya bisa dilihat di Ahmad Always, at-Tashawwuf min al-Wijhah at-Tarikhiyyah, dalam Majalah al-‘Asyirah al-Muhammadiyyah, Edisi Muharram, 1376 H.
[2] Aburrahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Mesir: Penerbit al-Bahiah.
[3] Ini seperti yang dikutip oleh Haji Khalifah, Kasyf azh-Zhunnun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun, vol. 1, hlm. 414


(Mengutip artikel : TQNNews.com)

berguru

Sejarah Tentang Tasawuf (1/2)

Sejarah Tasawuf

Perkembangan dakwah tasawuf dimulai setelah berakhir masa sahabat dan tabi’in. Pada masa mereka, dakwah ini belum dikenal karena memang belum dipandang perlu. Sebab merekalah orang-orang yang ahli takwa, ahli wara dan ahli ibadah pada zamannya. Secara fitrah dan sudah kehendak Allah, mereka terpanggil untuk bersikap seperti itu. Mereka mengenal dekat Nabi Muhammad SAW. Mereka selalu bersemangat meniru perilaku beliau di segala aspeknya baik lahir maupun batin.

Jadi, meski dakwah tasawuf pada masa itu tidak dikenal, karena memang belum menjadi nama suatu ilmu tersendiri, mereka sejatinya telah mengerjakan praktik-praktik tasawuf itu sendiri. Para sahabat tidak membutuhkan alat/perangkat khusus untuk menyerap aspek batin ajaran Nabi, karena mereka dapat meminumnya langsung dari sumbernya. Tasawuf masih merupakan realitas tanpa nama. Meski demikian, ia adalah satu sisi dari bangunan keberagamaan Nabi dan para sahabatnya.

Meskipun para sahabat dan tabi’in tidak menggunakan kata tasawuf, tapi pada parkteknya mereka adalah para sufi. Mereka adalah para praktisi tasawuf sesungguhnya. Yang dimaksud tasawuf tiada lain adalah, bahwa seseorang hidup hanya untuk Tuhannya, bukan untuk dirinya. Dia menghiasi dirinya dengan zuhud, tekun beribadah, berkomunikasi dengan Allah dengan ruh dan jiwanya di setiap waktu, dan berusaha mencapai berbagai kesempurnaan. Dia meraih apa yang telah diraih para sahabat dan tabiin, yakni tingkat spiritualitas tertinggi.

Para sahabat tidak hanya mengikrarkan iman dan menjalankan kewajiban-kewajiban. Mereka juga menyinari ikrarnya itu dengan perasaan, menambah kewajiban-kewajibannya dengan amal-amal sunnah, menjauhkan diri dari yang haram bahkan dari yang makruh. Sehingga mata hati mereka pun bersinar terang, percik-percik hikmah terpancar dari nurani mereka, dan rahasia-rahasia ilahiah berlimpah dalam jiwa mereka. Begitu halnya para tâbi’în dan tâbi at-tâbi’în (pengikut tâbi’în). Ketiga generasi itu adalah generasi emas dan sebaik-baik masa dalam peradaban Islam. Nabi bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasi ini, kemudian generasi setelahnya dan generasi yang setelahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di satu sisi, perluasan wilayah Islam dan persinggungannya dengan budaya dan ilmu pengetahuan negeri-negeri lain membawa dampak yang positif bagi umat Islam sendiri. Pada masa ini, perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam sangat pesat. Mereka mulai mengkodifikasi ilmu-ilmu pengetahuan. Lahirlah cabang-cabang ilmu seperti Nahwu, Fikih, Tauhid, Hadits, Ushul Fiqh, Tafsir, Faraid dan lain sebagainya.

Di sisi yang lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi membawa dampak negatif. Pada masa ini justru spiritualitas/semangat ruhaniah Islam sedikit demi sedikit melemah. Umat Islam semakin menjauh dari agama, menjauh dari Allah SWT. Sedikit-demi sedikit ketaatan-ketaatan ritual kian dilalaikan. Badan, pikiran dan hati umat semakin larut dalam kesibukan mengurus kekayaan, barang-dagangan, kekuasaan, teknologi, pengetahuan dan hasrat-hasrat duniawi lainnya.


Baca juga : Ivan Agueli, Sang Pelopor Tasawuf di Eropa , Restu dari Orangtua adalah awal tarekat


Fenomena ini membuat sedih para ahli zuhud yang sadar akan keadaan umat tersebut. Mereka akhirnya mulai membangun ilmu tasawuf. Jadi, kemunculan ilmu tasawuf bukan reaksi atas kemunculan ilmu-ilmu yang lain seperti disebut di atas. Tetapi ia muncul untuk mengokohkan kembali apa yang mulai rapuh dari kehidupan kaum muslimin, yaitu ruh agama. [1]

Ilmu tasawuf adalah buah karya para ulama terpercaya. Ia dilandasi oleh wahyu langit. Ia adalah perwujudan dari ihsan yang merupakan satu dari tiga elemen dasar agama, yaitu islam, iman dan ihsan (lihat artikel ‘Apa Itu Tasawuf?’).

Islam adalah kepatuhan dan ibadah. Iman adalah cahaya dan akidah. Sedangkan Ihsan adalah murāqabah (keintiman) dan musyāhadah (penyaksian). Sabda Nabi: “Ihsan adalah bahwa engkau mengabdikan diri kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Sekiranya engkau tidak (mampu) melihat-Nya, maka (yakinlah) Allah melihatmu.” (HR. Muslim)

Maka, siapapun yang kehilangan salah satu dari tiga pilar itu, keberagamaannya belum sempurna. Jadi, sasaran yang dibidik ilmu tasawuf adalah maqam ihsan, setelah seseorang memperbaiki islam dan imannya.

Dalam kitab Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun berkata, “Tasawuf adalah salah satu di antara ilmu-ilmu baru dalam Islam. Asal mulanya ialah amal perbuatan generasi salaf dari para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Fondasi tasawuf ialah tekun beribadah, memutus semua jalan kecuali jalan menuju Allah, berpaling dari kemegahan dan kemewahan dunia, melepaskan diri dari sesuatu yang diinginkan oleh kebanyakan manusia seperti buaian harta dan pangkat, serta mengasingkan diri dari makhluk dan berkhalwat untuk beribadah. Ini semua adalah kebiasaan yang dilakukan para sahabat dan para ulama salaf. Kemudian, pada abad kedua dan seterusnya manusia mulai jatuh dan terlena dengan kesibukan duniawi. Nama sufi pun muncul untuk menjuluki orang-orang yang tekun beribadah.” [2]

Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah bahwa kaum muslimin hingga sepeninggalan Rasulullah menyebut orang-orang yang paling utama di antara mereka dengan nama ‘sahabat’, tidak dengan selainnya. Sebab ketika itu tidak ada julukan yang lebih mulia selain nama ‘sahabat’. Setelah era sahabat, umat berselisih. Tingkatan ketakwaan mereka pun semakin beragam. Orang yang tekun menjalankan aturan agama disebut zahid (ahli zuhud) atau ‘abid (ahli ibadah). Kemudian muncullah berbagai bid’ah, dan setiap kelompok mengklaim bahwa di dalam kelompoknya ada orang-orang yang zuhud. Setelah itu, istilah tasawuf mulai digunakan oleh para ahli zuhud dari kalangan Ahli Sunnah, yang senantiasa memupuk hubungan dekat dengan Allah dan menjaga hati dari kelalaian. Istilah ini telah populer di kalangan mereka sebelum abad kedua hijriah.” [3]

Klik disini untuk selanjutnya—>